Karena Cinta Nggak Ada Di Piring
"Umur berapa Mbak?",
"Kapan nyusul nih?", "Calonnya orang mana?",
"Target umur berapa nikahnya?", "Pacaran udah lama, gak
takut karatan nih?", "2012, keburu kiamat lho!",
dan masih banyak lagi pertanyaan dan pernyataan lain tentang MENIKAH!
Sebenarnya saya agak risih dengan
pertanyaan yang itu-itu saja. Maklum,saya tinggal di kampung. Sebagian
perempuan muda, saya sudah dianggap tua, sudah menikah. Bahkan sejak baru lulus
SD. Beberap teman SD saya saja rata-rata sudah memiliki dua anak, bahkan ada
yang sudah sekolah Taman Kanan-Kanak. Ah, saya benar-benar ‘tertinggal’.
Ya, saya sudah 25 tahun, nyusul
nanti kalau sudah waktunya, calon saya sementara orang Lumajang, target umur 25
ini, gak kok -kami selalu merefresh hubungan kami-, 2012 belum
tentu kiamat! Itu jawaban saya yang disertai nada jengkel, wajah merengut tapi
diakali dengan nada guyon. Walau saya tersenyum saat menjawab pertanyaan itu,
namun saya juga merasa ada yang sakit di dalam hati saya. Jelas saya merasa
kalah pamor atau bisa dibilang kurang laku di pasaran. Sebab, diumur yang sudah
kepala dua, saya masih ‘terlihat’ enjoy dengan kesendirian.
Saya juga ingin menikah!!! Menikah
kan memang sunnah (bisa wajib juga!), karena saya juga ingin melihat bagaimana
bentuk rupa dan wajah cucu dari orang tua saya dan (calon) mertua saya. Tetapi
saya tidak serta - merta memutuskan menikah dengan hanya mengedipkan mata dan
langsung cling saya menikah! Banyak yang harus saya siapkan, pikirkan,
dan hadapi. Gemas juga kalau terus-terusan mikirin kata orang. Tapi apa
mau dikata, omongan itu terdengar juga.
Persiapan mental dan ekonomi
menjadi alasan pertama yang harus membuat saya menunda (belum terpikirkan)
untuk menikah. Saya (dan pacar saya) harus punya persiapan finansial
agar sebelum, menikah, dan setelahnya, kami tidak merepotkan orang tua. Mental
juga perlu sekali disiapkan agar pada saat sebelum, menikah dan setelahnya kita
bisa menjadi lebih bijak dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan
relationship.
Saya ambil contoh kecil, tetangga
saya menikah sekitar umur 16 tahun. Waktu pacaran mereka nampak bahagia. Si
cewek selalu dibelikan baju, ditraktir makan, dan kebutuhan lain terpenuhi.
Sampai akhirnya pasangan ini memutuskan menikah muda. Mereka nampak bahagia.
Saya tahu itu, karena saya datang di acara pernikahan mereka. Buah hati pun tak
lama muncul di kehidupan rumah tangga mereka.
Selang beberapa waktu kemudian, entah
karena alasan apa, si cowok berhenti dari pekerjaannya dan sekarang hanya nongkrong
bareng teman-teman seusianya. Sering saya lihat, si cowok hanya duduk-duduk di
teras sembari merokok dan gossipnya dia suka nyamperin tempat billiard. Padahal
pasangan muda ini sudah punya anak yang harus diperhatikan! Ah, kasihan sekali
sebenarnya. Bisa jadi karena kurang puas menikmati masa muda, si cowok belum
merasa memiliki tanggung jawab ekstra sebagai seorang suami dan sebagai ayah
untuk anaknya. Endingnya, si cewek malah curhat ke saya kalau menikah dan punya
anak itu ruwet!
“Duh, piye iki Mbak, Mas
Agus sudah nggak kerja?”. Curhatnya kala itu.
“Trus?”, jawab saya.
“Ya itu, anak juga sudah mulai
besar. Harga susu mahal juga Mbak. Ah, pusing!”, gerutunya.
Saya bisa menangkap apa maksud dari
pernyataannya itu. Dia bukan menyesali keadaannya yang sudah menikah dan
mempunyai anak yang lucu, tetapi dia menyesali keputusannya menikah pada saat
ia dan (calon) suaminya dulu belum memiliki pondasi yang kuat untuk membangun
sebuah keluarga. Salah satu masalahnya sudah barang tentu berkaitan dengan
keadaan ekonomi (masalah uang).
Beberapa saat saya terdiam. Mencoba
berpikir dan mencari jawaban yang tepat atas keluhannya. Belum sempat saya
menjawab, dia nyambung,
“Ah, tahu gini aku dulu nggak mau
nikah Mbak!”. Wajah tetangga saya itu masih nampak kesal. Kontan saja saya
kaget dan reflek melotot akan ucapannya. Gimana nggak kaget? Lha wong belum
genap dua tahun menikah, dia sudah merasa menyesal.
“Lah kamu kenapa dulu kok mau
diajak menikah?”, tanya saya tidak sabar setelah mendengar pernyataan yang
mencengangkan dari penyesalan seorang istri yang merasa capek menghadapi
kehidupan rumah tangga.
“Lah dulu Mas Agus kan uangnya
banyak pas kami pacaran. Gaji bulanan selalu masuk, walau tidak seberapa juga.
Maklum, Mas Agus kan buruh Mbak”. Dia terdiam sejenak, menghela napas. Saya
masih menunggu kalimat selanjutnya.
“Aku dulu selalu diberi uang saat
gajian, beli baju tiap kencan malam mingguan. Sering juga makan di warung gitu
Mbak”. Saya masih menunggu gong-nya. Mungkin ada lagi yang akan dia keluhkan.
Namun beberapa menit saya tunggu, kami malah saling diam.
“Trus kenapa sekarang kok nggak kerja
lagi? Berhenti sendiri?”, tanya saya penasaran.
Perempuan polos berambut keriting di
depan saya itu mengangkat bahunya, tanda bingung dan sulit menemukan jawaban.
“Dipecat?”, Tanya saya lagi. Dia
menggeleng.
“Lha terus?!”, saya ngotot
sekarang.
“Katanya capek. Kerjanya berat!”,
jawabnya polos.
Yaelah manusia! Dimana-mana yang
namanya kerja itu ya capek. Kalau nggak mau capek ya nggak usah kerja. Saya
sempat heran dengan alasan suaminya berhenti kerja. Capek? Kerja berat? Kerja
yang ringan itu gimana? Saya hanya geleng-geleng, nggak habis pikir.
“Kamu sebagai istri apa nggak coba
ngasih solusi? Misalnya mencoba merayu dia untuk nyari kerja lainnya yang nggak
berat gitu?”. Saya sok tahu, mencoba mengusulkan sesuatu yang padahal waktu itu
saya juga belum menikah.
“Katanya sih mau merantau saja. Di
luar Jawa katanya uangnya lebih gedhe Mbak!”. Percakapan itu berakhir seperti
jemuran. Menggantung. Kami terdiam dengan pikiran masing-masing.
Akhirnya, di penghujung 2012 saya
menikah. Inilah titik balik kesendirian saya. Apa yang saya pikirkan dengan
matang, ternyata sudah menemui titik terang. Saya harus berjibaku dengan
kegiatan mengatur keuangan rumah tangga.
Memang benar adanya, saya harus
pintar-pintar mengatur hati dan pikiran. Hati. Ya saya yang temperamental masih
harus belajar menata hati saat selisih pendapat dengan suami. Pikiran. Saya
yang selalu meutuskan sesuatu tanpa pikir panjang, mulai sekarang harus
berpikir mengatur ini-itu.
Berat tapi ringan. Ringan tapi
berat. Itulah rumah tangga. Sampai suatu ketika, saya kembali mendapatkan
teman-teman lama melalui media. Beberapa teman saya dengar kabarnya
membahagiakan. Hamil, punya anak, dan memiliki beberapa usaha. Namun tidak
sedikit saya mendapati teman saya yang harus berurusan dengan Pengadilan Agama.
Salah satu teman baim saya
memutuskan berpisah dengan suaminya setelah dua tahun pernikahan. Amat disayangkan,
karena saya adalah tim sukses di pernikahan mereka. Saya ikut bahagia dan
terharu saat ijab qabul itu berlangsung. Saya merasa kalau pernikahan mereka
sempurna, menurut kacamata awam saya waktu itu. Pesta mewah, banyak tamu yang
datang, dan kedua mempelai tertawa bahagia selama acara berlangsung.
Nyatanya, tanpa sepengetahuan saya,
teman saya melayangkan gugatan dengan alasan KDRT dan faktor ekonomi.Ah,lagi-lagi
masalah klasik. Saya sempat merasa prihatin. Namun saya belum bisa memberi
komentar, usulan, atau solusi. Saya masih shock dengan kabar tersebut. Akhirnya
saya memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik sembari terus menerus
menguatkan hati teman saya itu. Masih jelas di ingatan saat dia mencurahkan isi
hatinya.
“Bayangkan, dia nggak kerja sama
sekali setelah menikah!”. Suara teman saya sedikit parau. Saya lihat, suara itu
merupakan kombinasi antara nyesek, jengkel, gemas, dan malu. Saya diam.
“Dibikinin usaha toko, malah habis
uang. Modal nggak kembali. Malah barang-barangnya ikut habis”.
“Tabunganku juga ludes!”, lanjutnya
dengan nada sedikit tinggi.
“Perasaan dulu dia kerja di leassing
kan?”. Akhirnya saya angkat bicara. Teman saya mengangguk.
“Trus?”, tanya saya lagi.
“Ya gitu. Ternyata dia kerjanya
nggak serius. Main PS di rental tiap hari. Kalau nggak, ya nongkrong di warung
kopi. Atasannya ya nggak mau punya anak buah yang males gitu!”.
“Buat makan aja, kami masih dibantu
orang tua lho! Malu juga sebenarnya. Lha wong kami sama-sama sarjana. Setelah
menikah kok kayak gini!”, gerutunya lagi.
“Lah kamu dulu kok bisa memutuskan
menikah? Nggak dipikir dulu apa?”, tanya saya. Saya sebenarnya tahu betul
riwayat perjalanan asmara mereka. Si cowok kakak kelas saya saat SMA dan
merupakan anak Kepala Sekolah, mempunyai toko dan beberapa asset. Si cewek
teman baik saya saat kuliah. Selama pacaran, memang gaya hidup mereka sedikit
berlebihan. Namun kala itu saya pikir kalau mereka benar-benar ada uang.
Nyatanya sekarang mereka berpisah karena masalah uang.
Sudah banyak contoh yang ada di
depan mata saya, bahwa untuk memutuskan hal yang bersifat ekstrim (menikah)
dalam hidup haruslah dengan pemikiran yang sangat, sangat, dan sangat matang!
Bukannya saya tipe perempuan yang pilih-pilih, bukan! Tapi banyak kasus
menunjukkan kalau kita sudah menikah, kadar cinta hanya tinggal beberapa persen
saja. Prosentase terbesar dalam rumah tangga adalah memikirkan kebutuhan dan
mencapai kesejahteraan. Secara kasarnya, setelah menikah kita tidak akan bicara
tentang cinta. Tidak akan kenyang makan cinta. KARENA CINTA GAK ADA DI PIRING!
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana:
Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com