Kamis, 19 November 2015

Karena Cinta Nggak Ada Di Piring (New Version)



Karena Cinta Nggak Ada Di Piring
"Umur berapa Mbak?", "Kapan nyusul nih?", "Calonnya orang mana?", "Target umur berapa nikahnya?", "Pacaran udah lama, gak takut karatan nih?", "2012, keburu kiamat lho!", dan masih banyak lagi pertanyaan dan pernyataan lain tentang MENIKAH!
Sebenarnya saya agak risih dengan pertanyaan yang itu-itu saja. Maklum,saya tinggal di kampung. Sebagian perempuan muda, saya sudah dianggap tua, sudah menikah. Bahkan sejak baru lulus SD. Beberap teman SD saya saja rata-rata sudah memiliki dua anak, bahkan ada yang sudah sekolah Taman Kanan-Kanak. Ah, saya benar-benar ‘tertinggal’.
Ya, saya sudah 25 tahun, nyusul nanti kalau sudah waktunya, calon saya sementara orang Lumajang, target umur 25 ini, gak kok -kami selalu merefresh hubungan kami-, 2012 belum tentu kiamat! Itu jawaban saya yang disertai nada jengkel, wajah merengut tapi diakali dengan nada guyon. Walau saya tersenyum saat menjawab pertanyaan itu, namun saya juga merasa ada yang sakit di dalam hati saya. Jelas saya merasa kalah pamor atau bisa dibilang kurang laku di pasaran. Sebab, diumur yang sudah kepala dua, saya masih ‘terlihat’ enjoy dengan kesendirian.
Saya juga ingin menikah!!! Menikah kan memang sunnah (bisa wajib juga!), karena saya juga ingin melihat bagaimana bentuk rupa dan wajah cucu dari orang tua saya dan (calon) mertua saya. Tetapi saya tidak serta - merta memutuskan menikah dengan hanya mengedipkan mata dan langsung cling saya menikah! Banyak yang harus saya siapkan, pikirkan, dan hadapi. Gemas juga kalau terus-terusan mikirin kata orang. Tapi apa mau dikata, omongan itu terdengar juga.
Persiapan mental dan ekonomi menjadi alasan pertama yang harus membuat saya menunda (belum terpikirkan) untuk menikah. Saya (dan pacar saya) harus punya persiapan finansial agar sebelum, menikah, dan setelahnya, kami tidak merepotkan orang tua. Mental juga perlu sekali disiapkan agar pada saat sebelum, menikah dan setelahnya kita bisa menjadi lebih bijak dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan relationship.
Saya ambil contoh kecil, tetangga saya menikah sekitar umur 16 tahun. Waktu pacaran mereka nampak bahagia. Si cewek selalu dibelikan baju, ditraktir makan, dan kebutuhan lain terpenuhi. Sampai akhirnya pasangan ini memutuskan menikah muda. Mereka nampak bahagia. Saya tahu itu, karena saya datang di acara pernikahan mereka. Buah hati pun tak lama muncul di kehidupan rumah tangga mereka.
Selang beberapa waktu kemudian, entah karena alasan apa, si cowok berhenti dari pekerjaannya dan sekarang hanya nongkrong bareng teman-teman seusianya. Sering saya lihat, si cowok hanya duduk-duduk di teras sembari merokok dan gossipnya dia suka nyamperin tempat billiard. Padahal pasangan muda ini sudah punya anak yang harus diperhatikan! Ah, kasihan sekali sebenarnya. Bisa jadi karena kurang puas menikmati masa muda, si cowok belum merasa memiliki tanggung jawab ekstra sebagai seorang suami dan sebagai ayah untuk anaknya. Endingnya, si cewek malah curhat ke saya kalau menikah dan punya anak itu ruwet!
Duh, piye iki Mbak, Mas Agus sudah nggak kerja?”. Curhatnya kala itu.
“Trus?”, jawab saya.
“Ya itu, anak juga sudah mulai besar. Harga susu mahal juga Mbak. Ah, pusing!”, gerutunya.
Saya bisa menangkap apa maksud dari pernyataannya itu. Dia bukan menyesali keadaannya yang sudah menikah dan mempunyai anak yang lucu, tetapi dia menyesali keputusannya menikah pada saat ia dan (calon) suaminya dulu belum memiliki pondasi yang kuat untuk membangun sebuah keluarga. Salah satu masalahnya sudah barang tentu berkaitan dengan keadaan ekonomi (masalah uang).
Beberapa saat saya terdiam. Mencoba berpikir dan mencari jawaban yang tepat atas keluhannya. Belum sempat saya menjawab, dia nyambung,
“Ah, tahu gini aku dulu nggak mau nikah Mbak!”. Wajah tetangga saya itu masih nampak kesal. Kontan saja saya kaget dan reflek melotot akan ucapannya. Gimana nggak kaget? Lha wong belum genap dua tahun menikah, dia sudah merasa menyesal.
“Lah kamu kenapa dulu kok mau diajak menikah?”, tanya saya tidak sabar setelah mendengar pernyataan yang mencengangkan dari penyesalan seorang istri yang merasa capek menghadapi kehidupan rumah tangga.
“Lah dulu Mas Agus kan uangnya banyak pas kami pacaran. Gaji bulanan selalu masuk, walau tidak seberapa juga. Maklum, Mas Agus kan buruh Mbak”. Dia terdiam sejenak, menghela napas. Saya masih menunggu kalimat selanjutnya.
“Aku dulu selalu diberi uang saat gajian, beli baju tiap kencan malam mingguan. Sering juga makan di warung gitu Mbak”. Saya masih menunggu gong-nya. Mungkin ada lagi yang akan dia keluhkan. Namun beberapa menit saya tunggu, kami malah saling diam.
“Trus kenapa sekarang kok nggak kerja lagi? Berhenti sendiri?”, tanya saya penasaran.
Perempuan polos berambut keriting di depan saya itu mengangkat bahunya, tanda bingung dan sulit menemukan jawaban.
“Dipecat?”, Tanya saya lagi. Dia menggeleng.
“Lha terus?!”, saya ngotot sekarang.
“Katanya capek. Kerjanya berat!”, jawabnya polos.
Yaelah manusia! Dimana-mana yang namanya kerja itu ya capek. Kalau nggak mau capek ya nggak usah kerja. Saya sempat heran dengan alasan suaminya berhenti kerja. Capek? Kerja berat? Kerja yang ringan itu gimana? Saya hanya geleng-geleng, nggak habis pikir.
“Kamu sebagai istri apa nggak coba ngasih solusi? Misalnya mencoba merayu dia untuk nyari kerja lainnya yang nggak berat gitu?”. Saya sok tahu, mencoba mengusulkan sesuatu yang padahal waktu itu saya juga belum menikah.
“Katanya sih mau merantau saja. Di luar Jawa katanya uangnya lebih gedhe Mbak!”. Percakapan itu berakhir seperti jemuran. Menggantung. Kami terdiam dengan pikiran masing-masing.
Akhirnya, di penghujung 2012 saya menikah. Inilah titik balik kesendirian saya. Apa yang saya pikirkan dengan matang, ternyata sudah menemui titik terang. Saya harus berjibaku dengan kegiatan mengatur keuangan rumah tangga.
Memang benar adanya, saya harus pintar-pintar mengatur hati dan pikiran. Hati. Ya saya yang temperamental masih harus belajar menata hati saat selisih pendapat dengan suami. Pikiran. Saya yang selalu meutuskan sesuatu tanpa pikir panjang, mulai sekarang harus berpikir mengatur ini-itu.
Berat tapi ringan. Ringan tapi berat. Itulah rumah tangga. Sampai suatu ketika, saya kembali mendapatkan teman-teman lama melalui media. Beberapa teman saya dengar kabarnya membahagiakan. Hamil, punya anak, dan memiliki beberapa usaha. Namun tidak sedikit saya mendapati teman saya yang harus berurusan dengan Pengadilan Agama.
Salah satu teman baim saya memutuskan berpisah dengan suaminya setelah dua tahun pernikahan. Amat disayangkan, karena saya adalah tim sukses di pernikahan mereka. Saya ikut bahagia dan terharu saat ijab qabul itu berlangsung. Saya merasa kalau pernikahan mereka sempurna, menurut kacamata awam saya waktu itu. Pesta mewah, banyak tamu yang datang, dan kedua mempelai tertawa bahagia selama acara berlangsung.
Nyatanya, tanpa sepengetahuan saya, teman saya melayangkan gugatan dengan alasan KDRT dan faktor ekonomi.Ah,lagi-lagi masalah klasik. Saya sempat merasa prihatin. Namun saya belum bisa memberi komentar, usulan, atau solusi. Saya masih shock dengan kabar tersebut. Akhirnya saya memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik sembari terus menerus menguatkan hati teman saya itu. Masih jelas di ingatan saat dia mencurahkan isi hatinya.
“Bayangkan, dia nggak kerja sama sekali setelah menikah!”. Suara teman saya sedikit parau. Saya lihat, suara itu merupakan kombinasi antara nyesek, jengkel, gemas, dan malu. Saya diam.
“Dibikinin usaha toko, malah habis uang. Modal nggak kembali. Malah barang-barangnya ikut habis”.
“Tabunganku juga ludes!”, lanjutnya dengan nada sedikit tinggi.
“Perasaan dulu dia kerja di leassing kan?”. Akhirnya saya angkat bicara. Teman saya mengangguk.
“Trus?”, tanya saya lagi.
“Ya gitu. Ternyata dia kerjanya nggak serius. Main PS di rental tiap hari. Kalau nggak, ya nongkrong di warung kopi. Atasannya ya nggak mau punya anak buah yang males gitu!”.
“Buat makan aja, kami masih dibantu orang tua lho! Malu juga sebenarnya. Lha wong kami sama-sama sarjana. Setelah menikah kok kayak gini!”, gerutunya lagi.
“Lah kamu dulu kok bisa memutuskan menikah? Nggak dipikir dulu apa?”, tanya saya. Saya sebenarnya tahu betul riwayat perjalanan asmara mereka. Si cowok kakak kelas saya saat SMA dan merupakan anak Kepala Sekolah, mempunyai toko dan beberapa asset. Si cewek teman baik saya saat kuliah. Selama pacaran, memang gaya hidup mereka sedikit berlebihan. Namun kala itu saya pikir kalau mereka benar-benar ada uang. Nyatanya sekarang mereka berpisah karena masalah uang.
Sudah banyak contoh yang ada di depan mata saya, bahwa untuk memutuskan hal yang bersifat ekstrim (menikah) dalam hidup haruslah dengan pemikiran yang sangat, sangat, dan sangat matang! Bukannya saya tipe perempuan yang pilih-pilih, bukan! Tapi banyak kasus menunjukkan kalau kita sudah menikah, kadar cinta hanya tinggal beberapa persen saja. Prosentase terbesar dalam rumah tangga adalah memikirkan kebutuhan dan mencapai kesejahteraan. Secara kasarnya, setelah menikah kita tidak akan bicara tentang cinta. Tidak akan kenyang makan cinta. KARENA CINTA GAK ADA DI PIRING!
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

Minggu, 18 Oktober 2015

Kado Kedua di Pernikahan Kami

Desember 2014 merupakan tahun kedua pernikahan kami. Saya dan suami sudah berencana harus ada gol setiap tahunnya. Di tahun pertama, kami sudah mendapat kado sangat istimewa. jagoan kami melengkapi hidup kami. Nah, untuk tahun ini kami juga harus mempunyai gol.

Sebenarnya, kami sudah merencanakan membeli sesuatu dari hasil uang yang kami tabung. Pikir sana-sini, tengok kanan-kiri, lihat depan-belakang, apa yang harus kami jadikan investasi di tahun ini. Setelah kami pertimbangkan banyak hal dengan masak, akhirnya kami memutuskan untuk membeli armada yang bisa memfasilitasi kami selama di rantau. Ada beberapa alasan kenapa kami akhirnya memilih investasi mobil. Salah satunya karena kami tinggal di kebun sawit, jauh dari pasar atau keramaian dan karena kami yang mobile, merasa bekerja di sebuah perusahaan memiliki tingkat stress yang tinggi. Akibatnya setiap akhir pekan jenuh kalau hanya stay di rumah. Kami juga ingin melepaskan penat dengan jalan-jalan.

Alasan kedua adalah kondisi di kebun yang aaah...ekstrim. Sekali hujan, berarti akan becek dan licin. Sekali kemarau, debu tidak bisa bersahabat dengan kami. Kasihan si kecil kalau jalan-jalan harus pakai motor. 

Saya dan suami termasuk kategori keluarga yang tidak bisa lepas satu dengan lainnya. Artinya, jika Ayah sedang bepergian, saya dan si kecil dijakanya serta. Begitu juga sebaliknya, saat saya ada kebutuhan belanja, saya lebih senang ditemani mereka berdua. Akibatnya kalau naik motor, pasti si kecil juga kasihan.

Setelah kami putuskan apa bentuk investasi kami, kami mencoba menghubungi orang tua. Apakah keputusan kami benar adanya. Sedikit banyak harus melalui pertimbangan dari orang tua.

Ayah saya kebetulan mempunyai kenalan salah satu marketing di AUTO 2000. Setelah bertanya banyak hal, akhirnya Ayah saya datang ke sebuah pameran mobil di salah satu pusat perbelanjaan.

Namanya juga rezeki, pasti Tuhan tidak akan salah membaginya. Dengan uang tabungan yang tidak seberapa namun cukup untuk uang muka, akhirnya kami bisa juga memiliki sebuah unit mobil TOYOTA AVANZA-G-vvt.i dengan warna grey metalic. 

Ah, setelah kami menahan untuk tidak terlalu boros selama setahun, kami bisa memiliki kendaraan untuk keluarga. Tanpa proses yang rumit, pelayanannya juga maksimal dan memuaskan. Ini kado di tahun kedua pernikahan kami. Terima kasih TOYOTA. :)

Minggu, 01 Maret 2015

Pengalaman, guru tak berwujud!

Pada saat saya menulis ini, langsung saja terlintas beberapa kejadian yang membuat saya mengenal banyak hal. Bukan karena ingin pamer atau apa. Tujuan saya menulis kali ini adalah sekedar mengurai pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.

Saya, yang suka sekali bicara, akhirnya bisa menemukan tempat semestinya. Iya. Melalui radio, kemampuan bicara saya bermuara. Bahkan dilegalkan. Dapat honor pula.

Dulu, saya beberapa kali diminta sebagai pembawa acara di setiap kegiatan 17-an di desa saya. Saya dipercaya untuk membawakan acara resmi. So, saya harus tampil maksimal dong! Berbekal kebaya dan dandanan ala Ibu Kita Kartini, saya sukses membawakan acara tersebut dari tingkat dusun sampai tingkat desa. Akhirnya masyarakat mengakui kemampuan saya. Semakin kesini, saya juga ingin ada pengganti saya sebagai pembawa acara di kegiatan Agustusan. Regenerasi lah. Mengingat waktu itu, saya banyak menghabiskan waktu saya di luar kota (Jember maksudnya!).

Nah, selanjutnya saya akan menulis tentang pengalaman berbicara saya yang legal. Saya bersiaran di Soka Radio mulai 1 April 2009. Beberapa minggu kemudian, saya diajak untuk ngemsi di sebuah acara besar. Awalnya tidak terbayangkan acara besar itu seperti apa. Yang jelas waktu itu saya mengikuti beberapa pertemuan, briefing ini-itu, rapat sana-sini, konsep yang dicoret-coret di atas kertas, sampai dibagikan kaos yang bertuliskan salah satu merek motor terkenal (yang jargonnya 'Semakin Di Depan').
Saya yang bermodalkan sepatu dengan heels 3cm, jeans, dan make-up seadanya (maklum, saya masih pemula), berangkatlah ke lokasi di luar kota. Sampai sana....eng ing eng..., panggungya megah banget. Partner saya dengan kostum boots heboh dengan dandanan gothic macam rocker, sukses membuat saya mengkeret dengan apa yang saya pakai. Nasi sudah menjadi bubur. Saya tidak mungkin mencari kostum lain. Apa mau dikata, untuk membesarkan hati saya yang sudah terlanjut ciut, saya berdoa dan bertekad dalam hati, bahwa saya harus melakukan pekerjaan ini dengan maksimal.
Dari pengalaman di atas, pelan-pelan saya mulai mengoleksi beberapa baju, assesoris, sepatu, tas, dan macam-macam peralatan make-up. Saya juga belajar mengatur suara. Karena kalau acara outdoor, membutuhkan suara yang bulat dan tenaga yang ekstra juga. Kembali saya lakukan senam vokal setiap bangun tidur.
Semakin lama, saya akhirnya mendapat banyak sekali tawaran ngemsi. Dari acara formal di kampus, gathering di gedung/restoran mewan, sampai acara outdoor yang butuh kerja keras. Saya sempat menulis beberapa event dimana saya bertugas sebagai MC-nya. Berikut ya,,, (setidaknya sebagai rekam jejak dan torehan 'prestasi' saya), hehehe..

Yamaha Integreted 2009 di Alun-alun Banyuwangi
Yamaha Fun Game, di Bondowoso, Brigif Secaba Jember, Ambulu, dan Kencong.
Honda Launching Mega Pro di Lapangan Patokan Situbondo
Honda Gathering Customer With MPM Jember
Grebeg Pasar Inzana Jember (Kalisat, Ambulu, Jenggawah, Bangsalsari)
Grebeg Pasar Konidin Jember (Kalisat, Balung, Ambulu)




Seminar Nasional Pendidikan 2007, FKIP Universitas Jember di Bina Graha
Seminar Kesehatan “Aborsi” bersama dr. Fahmi dan Psikolog Bpk. Erdi Istiaji, S.Psi, FKM Unej
Gathering Garuda Food 2011
Reuni FISIP Angkatan 1996 di Rumah Makan Terapung Mangli 2011
Wisuda Angkatan Pertama Akbid Bina Husada Jember
Seminar Nasional 2007 di KAUJE Universitas Jember
Pro Mild with Community Jember 2012
Launching Blackberry Gemini with Telkomsel
Jumbo Oil di Alun-alun Jember
Launching Phillips di Roxy Mandiri Land Jember
SKJ Rexona di Citarum Alun-alun Jember
Launching hape Fren di Alun-alun Jember

Launching Top TV
Rookie DJ Award 2011

Ada beberapa lagi yang ternyata saya lupa. Minimal acara diatas sudah mewaili beberepa event yang kelupaan.
Sebelumnya, selain MC, saya juga pernah terlibat dalam beberapa acara seperti :

Narator boneka tangan produksi Jepang
Figuran dalam Film Dokumenter untuk Thesis salah satu mahasiswa Jepang.
Beberapa iklan di radio maupun televisi swasta.

Setelah saya masuk kebun, awalnya saya pesimis. Saya tidak yakin kalau bakat saya akan terpakai disini. Secara saya orang baru dan belum ada koneksi. Ternyata Tuhan tidak pernah tidur temans. Beberapa minggu saya di kebun, saya diminta untuk membatu sebuah acara sekolah. Dengan sennag hati saya menerima. Walau tidak ada honor, cuma dikasih nasi kotak, saya sudah sangat senang.

Nah, beberapa waktu kemudian, saya diminta bantuan untuk ngemsi di acara PT. Acara berlangsung di Hotel Swiss BellIn Pangkalan Bun.Acara gathering PT dengan mitra setempat. Wah, acara besar tuh! Partner saya waktu Itu P. Juli, yang ternyata baik banget. Suka kasih masukan dan ngasih tahu ini-itu tentang perusahaan. Akahirnya, saya dapat honor juga temans. Lima ratus ribu di awal 2013. Alhamdulillah.
Setelahnya, saya mengisi beberapa acara seperti acara Kick Off, QCC-SS, Yasau, dan yang terakhir kemarin acara Kick Off Area 2015.

Nah, sekelumit pengalaman itu membuat saya menjadi manusia yang sangat bersyukur. Karena tidak semua orang pernah merasakan hal yang sama seperti saya. Terimakasih Tuhan, alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah.