Senin, 09 Oktober 2017
Jumat, 04 Agustus 2017
Mama yang Pelupa
Tiba-tiba terdengar langkah kaki
yang terburu-buru.
“Ma…Mama lupa ya hari ini belum kiss?” tanya Kakak sembari memeluk saya.
Saya terlonjak dibuatnya.
Otomatis saya menghentikan kegiatan membaca, kemudian tersenyum. Saya sambut
tangan kecilnya, merangkul, dan menciumnya.
Kejadian seperti itu hampir di
setiap kesempatan. Tak terhitung berapa kali dalam sehari, Kakak melontarkan
pertanyaan yang sama. “Mama belum kiss, lho! Mama lupa ya?”
Ah, saya memang seorang Mama yang
menuju ke arah pikun barangkali. Hal sepele, seperti menciumnya saja, harus
diingatkan berulan kali. Apa saya yang terlalu egois karena lebih nyaman dengan
dunia saya? Dunia lembar yang saya suka, terkadang membuat kebersamaan kami
(saya dan Kakak) seolah kualitasnya menjadi berkurang.
Betapa bodohnya saya, ya?
Kebutuhan non-verbal Kakak belum
sepenuhnya bisa saya penuhi. Manisiawi kalau memang lupa adalah sifat. Tetapi mengapa saya yang terus-menerus mendapat
teguran dari Kakak?
Maaf ya, Sayang. Bukannya Mama
lupa. Namun terkadang Mama berpikir, kita bisa bersama dua puluh empat jam
(meskipun aktivitas bersentuhan masih kerap) saja sudah cukup. Kakak sibuk
dengan mainannya, saya yang ribet dengan leptop dan buku, serta kadang kami (masih
dan tetap) saling bercanda satu sama lain.
Namun, pernyataan dan pertanyaan Mama
belum kiss, lho! Mama lupa ya?” membuat
saya sangat terperangah sekaligus tertohok, karena ternyata Kakak masih ‘haus’
kasih sayang. Semoga Kakak juga tidak pernah lelah untuk mengingatkan saya yang
pelupa.
Mencintai Buku (Part #1 Membaca)
Saya seorang Ibu dari bocah
laki-laki yang biasa dipanggil Kak Coy dan tengah mengandung delapan bulan.
Selama ini saya aktif mengajar di sebuah sekolah di bawah Yayasan Astra Agro
Lestari.
Selain mengajar, sebenarnya saya
yang memang suka dengan dunia anak, saya juga menggemari rutinitas membaca dan
menulis. Kedua hal yang menjadi kegemaran saya itu, kadang menjadi hal yang
meresahkan bagi keluarga saya.
Kali ini, saya akan bercerita
tentang membaca terlebih dahulu.
Dulu waktu masih usia sekolah, setiap
malam Ayah saya yang selalu membereskan semua buku saya yang berantakan. Hobi
membaca novel dan cerita fiksi lain, membuat orang tua saya sedikit khawatir.
Takut kalau saya lebih memilih membaca buku cerita ketimbang buku pelajaran.
Meskipun untuk membaca sendiri merupakan ‘paksaan’ dari Ibu saya dan turunan
langsung dari Ayah, tetapi kebiasaan saya yang kerap memaksaakan diri membaca
di bawah temaram dan terlentang, membuat kedua orang tua saya terus-menerus
menegur. Intinya, membaca sih boleh.
Asal buku pelajaran (yang dominan dibaca), di bawah terang lampu, dan posisi
duduk yang benar.
Tapi apalah daya, kalau sudah PW
(Posisi Wenak) dengan kondisi abnormal,
semua teguran itu seolah angin lalu. Orang tua khawatir dengan jam tidur saya
yang acak adul, kesehatan mata saya, dan Ayah yang kadang ngomel harus
memunguti beberapa buku saya yang jatuh di kolong tempat tidur.
Sejak kecil saya sudah
‘didoktrin’ untuk suka membaca, terutama oleh Ibu saya. Paksaan yang membawa
berkah sih. Saat kelas lima SD, saya
membuka perpustakaan mini di rumah. Difasilitasi dengan rak plastik bersusun,
beberapa koleksi buku, komik anak, dan majalah, saya pajang di sana. Saya
memberlakukan sistem penyewaan. Maklum, naluri mata duitan masih kental. Haha.
Rp.50,- per buku jangka waktu satu minggu. Itu di tahun 1997-1998. Usaha saya
kurang berhasil. Karena minat baca teman-teman saya sungguh menyedihkan. Mereka
cenderung lebih senang bermain di sungai atau melakukan permainan lainnya.
Akhirnya saya siasati dengan
membawa beberapa majalah ke pojok lapangan menggunakan sepeda. Saya ajak
beberapa teman untuk membaca. Gratis tanpa dipungut biaya! Hasilnya kurang
lebih sama dengan pengalaman sebelumnya. Teman-teman saya hanya banyak
berkomentar tentang gambar, bukan isi bacaannya. Sedih lah saya.
Sudahlah, saya tidak akan
memaksa. Toh selera dan kebutuhan
setiap orang berbeda. Saya kembali ke dunia bacaan saya dan teman-teman kembali
ke habitatnya.
Ada satu kejadian lucu yang
terjadi antara saya dan buku. Saking cintanya saya terhadap buku, waktu rak
buku di rumah kami terkena tempias hujan alias kebocoran, saya nangis parah
seperti kehilangan apaaaa gitu! Ayah saya dengan setia menjemur buku saya, telaten
menguliti satu persatu, dan berjanji akan mencarikan rak buku yang lebih baik.
Tahukah Anda, kejadian rak buku
kebocoran itu saat saya usia berapa? Dua
puluh enam tahun dan sudah memiliki satu anak! Tapi saya nangisnya sudah
seperti putus cinta,merana ditinggal kekasih. Haha, terlalu lebay apa alay? Tak apa lah.
Setelahnya, banyak sekali
kejadian yang berhubungan dengan buku dan memancing emosi saya. Saking cintanya
saya terhadap buku, saya sungguh tidak rela kalau buku yang dipinjam oleh teman
ternyata tidak kembali alias hilang bin raib atau kembali tapi dengan kondisi
yang sudah berantakan. Di situ naluri saya untuk melindungi buku merasa
terusik.
Saya tidak mungkin ngomel-ngomel
seperti emak-emak yang syok mendengar harga cabe naik. Tapi saya menandai nama
mereka yang telah menghilangkan dan merusak buku saya. Blacklist! Nama mereka saya coret otomatis dari dunia
pinjam-meminjam buku.
Saya tidak suka buku terlipat
halamannya, penuh corat-coret tidak jelas (karena kalau ada kosakata baru, saya
mencatat di buku lain), atau kadang
gerah jika ada oknum yanag tidak menghormati buku (berserakan, seolah tidak
dihiraukan).
Oleh karena itu, saya akan
menyimpan baik-baik buku saya, selektif dalam memilih peminjam, feedback/refleksi cerita dengan orang
yang sudah meminjam buku saya, dan mencoba menularkan kesukaan saya terhadap
sesama untuk mencintai buku. Selain itu, saya ingin punya perpustakaan sendiri
yang lengkap dan besar di rumah saya!!!!!
Books, I love you!
Sudahkah bilang I Love You hari ini?
Cerita pagi
yang setiap hari selalu membuat hati saya luluh lantak. Apa pasal? Melewati
masa cuti tiga bulan, sengaja saya manfaatkan untuk full time dengan Kakak. Selama ini kami hanya bertemu sore sampai
malam hari. Sisanya, Kakak bersama pengasuhnya. Oleh karena itu, saya
benar-benar ingin menghabiskan waktu dua puluh empat jam dengan Kakak.
Selain untuk
menebus kebersamaan yang hilang selama ini, saya ingin melihat langsung
perkembangan dan ‘mendekatkan’ diri secara lahir batin dengan Kakak. Saya bisa
menikmati moment dimana Kakak molet
baru bangun sampai harus marah-marah saat malam menyuruhnya untuk tidur.
Hasilnya bisa
saya lihat, Kakak nampak senang bukan kepalang. Ceria terus! Nah, ini yang
membuat saya semakin ciiintaaaaa….Setiap baru bangun, Kakak pasti langsung
bilang,”Ma…peluk!”.
Ya,otomatis
saya peluk dia dan cium kening meskipun masih bau apek dan (maaf) iler. Haha.
Tak masalah! Di situ istimewanya. Selama ini saat sore bertemu dengannya, kondisi
Kakak sudah bau keringat dan matahari selepas main seharian. Jadi, aroma bangun
tidur yang khas itu sungguh-sungguh saya nikmati.
Kalimat kedua
yang diucapkan Kakak setelahnya (yang membuat saya tambah klepek-klepek)
adalah, “Kakak sayang sama Mama!”.
Ah, senyum mentari dan cahya rembulan mah
lewaaaat! Saya dengan cepat menjawab, “Mama
juga sayang Kakak.” Hati saya bermekaran, mengalahkan mekarnya bunga Asoka
di depan rumah. Haha.
Setelah saya
memandikan dan mengganti bajunya, selalu Kakak meminta untuk dicium dan tak
lupa ia berujar, “I Love You, Ma! Adek juga.” (sembari mencium perut saya yang
buncit). Tanpa pikir panjang saya jawab, “Love You, too!”
Tiga kalimat
ajaib yang terlontar dari bocah polos ini membuat saya menjadi seorang Mama
yang luar biasa. Bagaimana tidak? Saya yang selama ini memang hanya separuh
hari bertemu dengannya, langsung merasa utuh setelah setiap hari mendengar
kalimat-kalimat yang luar biasa hebat itu.
Nah, untuk
semua Mama di dunia ini, sudahkah bilang
I Love You hari ini pada buah
hati tercinta? Meskipun hati saya senang bukan kepalang mendengar apa yang
diucapkan Kakak, tapi saya merasa kecolongan. Karena selalu Kakak yang
mendahului mengucapkan kalimat romantis kepada saya, bukan saya duluan. Oleh
karenanya, Anda semua sebaiknya memulai ya! Lebih baik terlambat daripada tidak
sama sekali. J
Rabu, 02 Agustus 2017
'Diperkosa' Kasih Sayang
Selamat pagi!
Gundah gulana dan sedikit linu mengawali pagi saya kali ini. Sudah dua hari tidak nyaman untuk beristirahat malam. Pasalnya, kondisi perut saya sudah membesar (hamil tua, 8 bulan euy!). Tidur miring kanan-kiri bukan solusi. Apalagi terlentang atau tengkurep? Yang terakhir jelas tak mungkin.
Selain itu, pikiran saya tengah terganggu dengan hal -yang sebenarnya sepele- tapi krusial. Selama bulan puasa kemarin masalah ini sudah muncul.
Ibu yang momong (mengasuh) anak saya, tiba-tiba mau berhenti. Dulu dia pernah bilang dua kali, sih! Tapi saya tolak karena anak saya tipe anak yang susah berbaur dengan orang lain, apalagi orang baru. Saya minta dengan sangat -baca: memohon- agar dia merelakan waktunya untuk tetap momong si Kakak.
Pusing pala berbie waktu dia terlihat sedikit enggan. Saya dan suami pun putar otak untuk cari ganti. Jam 9 pagi dia minta keluar, jam 12 siang saya muter cari pengasuh baru. Sudah ada pandangan dan menurut saya orang baru itu cocok untuk si Kakak, eh...ternyata dia tidak ada di rumah. Kacaulah saya. Saya pasrah, nangis, dan berpikir belum jodoh.
Demi melihat saya yang terus sesenggukan dan bolak-balik meratapi wajah Kakak yang lugu, suami saya akhirnya mengajak saya jalan-jalan dulu. Refresh otak, katanya. Biar nggak stress. Nyatanya saya tetap stress, kepikiran, dan kasihan dengan Kakak.
Selepas Magrib, kami kembali mendatangi rumah calon pengasuh Kakak yang baru. Oke fix, kami langsung ketemu, to the point (tanpa mukadimah), lanjut deal. Alhamdulillah. Hanya butuh sekitar lima belas menit berbincang dan akhirnya besok mulai kerja. Saya juga pamitan pada pengasuh yang lama dan mengucapkan terimaksih karena sudah hampir empat tahun bersama Kakak. Meski agak mellow, saya harus ikhlas. Apalagi Kakak, dia nempel terus sama pengasuhnya. Iiih...jadi sedih plus geregetan!
Apakah masalah langsung terselesaikan dengan kehadiran pengasuh baru, pemirsa? Oh...ternyata TIDAK!
Saat pengasuh baru -sebut saja Mak A- datang, Kakak melihatnya seperti orang asing. Padahal semalam sudah kami ajak kenalan. Oke, Kakak memang tipe anak yang introvert dalam pergaulan. Dia hanya mau sama teman yang sudah bertahun-tahun dikenal. Di lingkungan perumahan saja, ia hanya mau bermain dengan anak di depan rumah. Selain anak itu, Kakak akan cuek setengah mampus! Aaarrggh!!!
Kembali ke hari pertama Mak A kerja di rumah kami. Sudah saya beritahu tentang ini-itu kepada Mak A, perihal hal yang boleh atau tidak boleh, sesuatu yang bisa dan tidak bisa untuk si Kakak. Setelah jelas, dengan berat hati saya pun berangkat kerja. Tidak tega sebenarnya meninggalkan Kakak begitu saja. Saat di kantor, hati saya ketar-ketir. Kepikiran kondisi Kakak di rumah.
Saat jam istirahat, saya putuskan untuk menjenguk Kakak. Hasilnya? Kakak terlihat baru mandi dan tengah menonton tv. Tapi ada yang beda. Kakak jadi lebih pendiam. Waktu melihat saya masuk rumah, Kakak langusng meneteskan air mata. Kakak tidak menangis yang meraung-raung manja, hanya air matanya yang tiba-tiba mengalir. Bukankah itu pertanda kalau hatinya sangat sedih? Saya jadi ikut nyesek dan langsung peluk si Kakak.
"Are you okay, Boy?" tanya saya saat Kakak sudah ada di dekapan.
Kakak menggeleng pelan. Deg! Hati saya jadi tambah ikut sedih.
"Dari tadi diam aja, Bu! Saya tawari segala macam, nggak mau ngomong. Saya juga bingung," jawab Mak A.
Saya paham dan tidak menyalahkan siapa pun.
Tahukah Anda, kondisi seperti itu berlangsung selama empat hari! Kakak mogok bicara, hati saya ketar-ketir selama ninggalin Kakak, dan air mata kembali menetes saat saya jenguk Kakak. Tambah sedih hati saya.
Oke, otak kembali berputar. Saya dan suami kembali ke rumah pengasuh yang lama. Dengan amat sangat memohon, saya meminta dia untuk mau momong Kakak lagi. Masalahnya, setiap bangun tidur, Kakak langsung memanggil pengasuhnya dan nangis bombay. Selama empat hari, pagi hari kami selalu diwarnai dengan sedih dan tangis.
Syukurnya, pengasuh yang lama mau menerima tapi saya juga harus cari pengganti sembari dia momong lagi.
Mak A yang bekerja di rumah kami tidak serta merta kami berhentikan. Kami minta untuk bantu bersih-bersih rumah tanpa momong Kakak dan kami siapkan untuk momong Adik nanti. Kondisi seperti itu berjalan selama dua bulan.
Oh ya, saya juga punya Mbak yang bagian nyetrika. Nah, ternyata setelah lebaran kemarin, Mbaknya juga minta berhenti karena dia ada praktik dari sekolahnya. Okelah saya lepas dan saya yang ganti bertugas nyetrika di rumah.
Nah, selama saya cuti ini, saya ingin memanfaatkan waktu saya bersama Kakak. Saya pamitan ke pengasuh Kakak bahwa selama tiga bulan biar Kakak sama saya. Dia pun mau dan nampak senang, saya pun tidak tahu pasti.
Seiring waktu berjalan (cieeee....), Kakak lambat laun kadang mau kadang tidak sama Mak A. Saya pun tidak memaksa. Takut Kakak belum siap dan terluka hati. Saya pun bersikap biasa saja, takut Kakak nanti berubah pikiran.
Tapi ternyata oh ternyata, masalah (yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan) justru datang dari luar. Saya mendengar selentingan kalau pengasuh Kakak yang lama ternyata memang niat ingin keluar dengan alasan yang tidak bisa saya sebutkan di sini (tidak etis ya, guys!).
Menangislah saya mendengar gosip itu. Karena selain gunjingan yang tidak jelas, di dalam rumor itu terdapat beberapa fitnah yang sebenarnya saya merasa tidak pernah melakukan. Sakit hati saya!!!
Selain itu, tiba-tiba saja ada beberapa orang yang mau mendaftar bekerja di rumah saya. Saya juga bingung. Apa-apaan ini? Wong yang satu minta keluar, tiba-tiba saya diberondong dengan beberapa orang baru. Ah, tidak saya hiraukan. Saya harus selektif dan menimbang banyak hal agar tidak terjadi fitnah lagi.
Sehari semalam saya dan suami merefleksi diri. Apa salah dan kurang kami, sehingga begitu banyak berita di luaran yang ternyata menyudutkan saya. Jadi pengen mewek lagi kalau ingat fitnah dan omongan nggak jelas itu! Huhuhu
Saya kembali putar otak dan berdiskusi dengan suami. Kebetulan ada Mbak B yang baru keluar kerja dari teman saya (karena alasan yang juga tidak bisa saya sebutkan di sini). Mbak B baik orangnya, tapi masih punya baby. Saya coba pikir ulang. Siapa tahu selama tiga bulan PDKT, Kakak mau sam Mbak B. Karena Kakak sebelumnya sudah pernah tahu dan mengenal Mbak B.
Saya menawari Mbak B untuk nyetrika dulu sembari mengenal lingkungan rumah dan siapa tahu Kakak mau sama Mbak B. Entahlah...
Dari sekian banyak tulisan dan curhatan saya, akhirnya saya menyadari bahwa secara tidak langsung sebagai orang tua kita tidak mau kalau anak kita ditelantarkan, berubah jadi pendiam, hatinya tidak nyaman, dan murung terus menerus. Meskipun juga secara tidak langsung saya juga 'menelantarkan' anak dengan alasan bekerja. Sebenarnya saya yang jahat dan tidak tahu diri. Huhuhu
Selama cuti ini saya benar-benar merasa 'diperkosa' oleh anak saya. Dia 'memaksa' saya untuk tetap ada di sisinya dan selalu memberikan yang terbaik untuknya.
Putar otak cari pengasuh yang cocok dan pas ternyata sangat sulit. Hal itu juga yang ternyata 'memperkosa' pikiran saya.
Kondisi memaksa, memohon, dan dipaksa tangguh untuk tetap mencurahkan kasih sayang terhadap anak ternyata memang membutuhkan ketegaran hati dan kekuatan jiwa. Kalau tidak, bisa saja saya putar balik, frustasi, dan bunuh diri (Ah, lebay!).
Demi anak saya, saya harus menebalkan telinga, menata hati, koreksi diri, dan mencoba bertahan!
Selasa, 13 Juni 2017
Mewariskan Cita-cita
Beberapa waktu terakhir, sedangan viral-viralnya istilah 'warisan'. Pro kontra dengan satu kata itu, karena sempat booming tulisan dari anak SMA, Afi Nihaya, asal Banyuwangi (satu kota kelahiran dengan saya). Tapi kali ini saya tidak akan membahas 'warisan' yang bersifat sensitif seperti apa yang dilakukan Afi. Saya tidak se-berani dia, saya masih mengalami ketakukan jika akan menulis sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal 'menyentuh', dan saya takut tulisan saya jadi boomerang bagi saya dan keluarga. Jadi, saya memilih tulisan yang ringan dan aman.
Warisan yang saya maksud disini adalah tentang cita-cita kami (trah keluarga saya) secara turun-temurun. Sebenarnya secara inti dan singkat, hal ini pernah saya utarakan saat update status di fesbuk. Tapi sekarang saya memang sedang ingin menulisnya lagi, versi panjang dan ada keterangan. Haha
Begini..., saya sangat bangga pernah menjadi bagian salah satu radio yang cukup terkenal di Jember (SokaRadio) sebagai penyiar radio selama 3,5 tahun. Apa sebab?
1. Saya merasa passion saya ada disana. Saya yang suka ngomong, ngobrol, rumpi, dan cerita ngalor-ngidul, akhirnya punya wadah untuk menampungnya. Selain itu, kesukaan dan kegemaran saya dengan dunia musik (meskipun saya tidak bergelut langsung dengan dunia musik), saya menikmati hari-hari yang penuh dengan lagu-lagu.
2. Saya mendapat pekerjaan yang santai dan tidak ada tekanan. Hanya butuh kreativitas dan banyak baca untuk menambah knowledge. Itu bisa saya lakukan sambil jalan dan dibantu oleh orang-orang yang luar biasa.
3. Saya mendapat gaji dan pengalaman yang luar biasa. Gaji saya dapat dari siaran secara resmi (di box siar), sedangkan pengalaman lain ternyata membawa berkah berupa uang, pertemanan, dan kegiatan yang menakjubkan. Itu yang belum tentu bisa diperoleh oleh orang lain. Atau bahkan belum tentu bisa saya temukan di tempat lain. Saya bisa memenuhi kebutuhan saya sendiri, bahkan bisa memberi sedikit untuk keluarga.
Ternyata oh ternyata, menjadi seorang penyiar radio adalah cita-cita yang sangat diimpikan oleh Ibu saya. Beliau ingin sekali menjadi announcer dan mempunyai banyak fans seperti penyiar kesayangannya. Oleh karena itu, langkah pertama yang dilakukan Ibu saya adalah dengan cara mengirim salam melalui atensi di salah satu radio di Banyuwangi. Dengan seperti itu, beliau jadi banyak kenalan dan punya sahabat pena. Nah, apa yang dilakukan oleh Ibu saya ternyata menular pada saya. Sejak SD kelas 6, saya sudah suka kirim salam by phone ke beberapa radio. Hasilnya sama dengan yang diperoleh oleh Ibu saya, banyak kenalan.
Ternyata lagi, pencapaian Ibu saya hanya sebatas kirim salam saja. Tidak sampai masuk box siar dan jadi penyiar. Beliau akhirnya hanya memendam dan pasrah saja sebagai fans seperti orang kebanyakan. Dan tidak ada yang pernah menyangka, keinginannya ternyata bisa saja wujudkan. Secara tidak langsung cita-cita itu sudah 'diwariskan' ke saya.
Nah, sekarang giliran saya. Selain suka sebagai penyiar, saya sangat ingin menjadi anchor dan penulis terkenal. Tidak tahu mengapa, dua profesi itu sangat menyita sebagian hati dan pikiran saya. Sebab, menjadi anchor dan penulis menjadi terlihat sangat smart. Walaupun untuk menjadi keduanya juga memang harus benar-benar pintar dan tahu banyak hal. Nah, senang sekali bukan kalau orang lain menjadi percaya dengan apa yang kita ucapkan dan bisa terinspirasi dengan apa yang kita tulis? Itu yang ingin saya wujudkan.
Ternyata, saya malah jadi seorang pengajar (seperti yang sudah saya jabarkan di tulisan sebelumnya). Meskipun dimedio 2016-2017 saya sangat beruntung sekali. Saya sudah menghasilkan tulisan-tulisan. Cerpen anak, artikel, puisi, dan novel. Cerpen anak dan novel sudah dibukukan. Artikel sudah diterbitkan. Puisi sedang proses karena memang antologi. Itu adalah kemajuan yang luar biasa bagi saya.
Oke, satu tujuan yang menyelip di hati saya sudah tercapai. Namun saya harus terus banyak belajar dan berjuang. Artinya, saya sangat ingin tulisan saya bisa menginspirasi dan mempengaruhi banyak orang. Itu yang harus saya kejar! Haha
Nah, satu lagi yang belum tercapai. ANCHOR! Usia sudah kepala 3, mana ada lowongan jadi pembaca berita? Lagipula saya tinggal amat jauh dari Ibukota. Aarrgh....
Nampaknya saya harus melakukan apa yang sudah dilakukan oleh Ibu saya. MEWARISKAN CITA-CITA. Doa dan harapan saya, saya ingin anak, penerus, dan generasi saya merealisasikan apa yang belum terwujud dari mimpi saya. Memang terkesan memaksa. Tapi menurut saya, tak apalah 'memaksa' penerus saya untuk menjadi yang lebih baik. Meskipun nantinya, pilihan tergantung di tangan mereka. Saya kan hanya berharap. Semoga saja terwujud dan itu tentu akan membuat saya senang.
Mereka juga boleh memilih sebagai penulis, tentunya dengan nama besar yang harus lebih melesat dari saya. Memaksa lagi? Egois ya saya? Sebagai pembelaan, untuk saat ini saya mengarahkan saja. Terutama menstimulus anak-anak saya dengan pengetahuan melalui bercerita, membaca, menyanyi, bertanya, dan bercanda. Mungkin itu langkah awal.
Daaan....izinkan saya untuk terus berdoa dan berusaha semoga apa yang saya cita-citakan bisa dilanjutkan oleh anak cucu saya. Amin.
Senin, 12 Juni 2017
Terjebak di Dunia Anak
Saat saya masih
kecil, saya ingat betul, bahwa saya sangat menyukai hal yang bersifat ramai
atau huru-hara. Namun dalam hal positif. Artinya, saya senang dengan suasana
yang ceria, banyak orang, dan saya seringkali bertingkah aneh untuk
menghidupkan suasana. Itu saya lakukan karena saat itu saya masih anak tunggal.
‘Konser tunggal’ yang saya adakan tiap malam, difasilitasi dengan radio kecil
yang menyiarkan lagu-lagu dangdut dan dengan mengundang beberapa teman yang
saya paksa untuk menonton atraksi saya. Cara itu ampuh untuk membuat saya
‘terkenal’ kala itu. Banyak yang bilang saya berani, percaya diri, dan pintar.
Saya menikmati pujian itu. Hahaha...
Beranjak
remaja, tepatnya SMP-SMA, saya mulai mengaktualisasi diri dengan cara menjalin
pertemanan dengan banyak orang. Mulai dari supir angkot, teman satu sekolah,
kakak kelas, adik kelas, siswa lain sekolah, temannya teman yang beda daerah,
bahkan penjaga wartel juga saya ajak berteman. Hasilnya, semakin banyak orang
yang mengenal saya. Saya benar-benar menikmati moment itu. Saya banyak pengalaman, banyak tahu, dan banyak
belajar.
Saat kuliah,
saya melakukan cara yang sama untuk menjaring koneksi. Kakak tingkat, adik
tingakt, teman lain jurusan, lain fakultas, temen kos dari temannya teman, bahkan
beberapa teman dari teman kerja juga wajib saya kenal. Hasilnya, banyak job
yang saya dapat saat saya menjadi penyiar radio dan memudahkan beberapa urusan
yang saya temui. Saya ‘terkenal’ waktu itu. Anggaplah ‘artis’ lokal. Ah, saya
semakin menikmati masa dimana saya merasa berjaya.
Namun ada satu
hal yang tanpa saya sadari dalam hidup saya, sampai Ibu saya berkata, “Mbak,
Mbak kan calon guru. Pantes aja open (peduli-Jawa) sama anak kecil. Harus bias jadi contoh juga.”
Ini yang belum
saya ceritakan. Saya sangat menyukai anak-anak. Terutama yang usia sekolah.
Saat saya masih kelas 5 SD, saya sudah membuka les Bahasa Inggris untuk anak SMP
yang saat itu diberi imbalan Rp.50,- per anak di setiap pertemuan. Banyak
sekali ‘murid’ saya waktu itu. Saat saya libur kuliah pun, diwaktu senggang
saya sempatkan untuk ikut mengajar di SD dan SMP. Sepulang sekolah, saya
memberi les gratis pada anak SD. Saya senang bisa berbagi dan mengajari orang
dalam banyak hal, terutama tentang pelajaran. Hal ini dikarenakan, saya juga
senang berguru pada orang lain saat saya tidak mengerti akan sesuatu.
Setelah saya
bekerja, nyatanya saya memang jodoh dengan dunia anak dan dunia pendidikan.
Saya mengajar di SD, dimana saya senang sekali memberi mereka sesuatu yang
baru, yang belum pernah mereka tahu, dan membuat mereka takjub akan penjelasan
yang keluar dari mulut saya. Membahagiakan sekali menjadi pusat perhatian
seperti ini.
Lagi-lagi saya
tidak bisa jauh dari dunia anak. Rasanya, keberuntungan saya memang tidak lepas
dari kata ANAK. Saya mendapat pekerjaan tetap saya, saat hamil 4 bulan anak
pertama. Jauh setelahnya, kira-kira tiga tahun kemudian, saya mendapat
keberuntungan berangkat ke Bali dalam acara Teacher Supercamp 2016 yang
diadakan oleh KPK berkat Cerpen Anak yang saya buat. Beberapa bulan berselang, saya
berhasil menjadi juara 3 menulis cerpen anak di salah satu penggiat literasi.
Padahal,
sebelum-sebelumnya sering sekali saya menulis artikel yang serius dan dewasa
untuk saya ikutkan lomba. Hasilnya, ternyata belum bisa membuat saya menjadi
pusat perhatian. Mentok di meja redaksi dan juri tanpa membawa hasil sebagai
pemenang. Mungkin dikarenakan artikel atau opini yang saya bahas itu, jauh dari
ANAK.
Semakin kesini,
saya sadar, mungkin saja saya memang benar-benar tidak bisa lepas dari kata
ANAK. Dimulai dari kebiasaan saya yang suka mengajar, hobi saya yang suka
menyanyi dan bercerita, hingga keberuntungan saya yang selalu berkaitan dengan
anak. Saya merasa nyaman jika berbicara tentang tumbuh kembang mereka,
anak-anak.
Saya mencoba
banyak belajar mengenai apa dan bagaimana dunia anak sebenarnya. Hal ini juga
didukung oleh suami saya yang cenderung lebih concern dan peka terhadap dunia anak. Saya baca banyak buku dan
artikel tentang anak, meskipun buku yang saya baca belum sebanyak para pakar
yang jauh mendahului saya. Saya akui saya masih banyak sekali kekurangan. Oleh
karena itu, saya harus banyak belajar dan cari tahu.
Dari banyak hal
yang saya lakukan dan sudah sedikit banyak bersinggungan dengan dunia anak,
apakah sudah bisa dijadikan tolak ukur bahwa saya adalah seorang Ibu dan guru
yang baik? TIDAK. Saya jawab dengan tegas. Saya belum sesempurna itu.
Saya masih
sering marah, jengkel, dan kadang abai terhadap anak saya dan murid saya di
sekolah. Apa yang menyebabkan saya emosi? Saya akui, saya manusia biasa dan
bahkan kadang kurang kontrol emosi. Tidak jarang cara saya mendisiplinkan
mereka (anak saya dan murid saya) masih menggunakan metode ‘kuno’. Seperti apa
metode ‘kuno’ itu? Marah, mengancam, dan berkata dengan nada tinggi.
Awalnya saya
berpikir cara itu bisa membuat mereka takut dan akhirnya menurut. Ternyata saya
sadari bahwa saya salah kaprah dan salah jalan. Saya sudah memutus ‘jembatan’
yang ada di otak mereka dan ternyata membutuhkan waktu lama untuk menyambung
'jembatan' itu lagi.
Ini jadi bahan
refleksi bagi saya. Metode yang saya gunakan perlahan saya ubah, disesuaikan
dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Metode ‘kuno’ pelan-pelan saya
tinggalkan. Emosi saya kontrol sedemikian rupa agar mereka mampu membangun
jembatan lain di otak mereka. Persaingan di masa depan semakin menantang. Akan
menjadi tanggung jawab saya dan menjadikan penyesalan seumur hidup jika mereka
tidak mampu bersaing hanya karena saya sudah merusak jembatan di otak mereka.
Itu akan membuat saya merasa berdosa sekali.
Kali ini, saya
merasa memang saya tidak bisa jauh dari mereka. Hidup dan keberuntungan saya
diiringi oleh gelak tawa dan keceriaan mereka. Disini hidup saya,
mendedikasikan diri untuk anak-anak yang luar biasa. Harus saya akui, bahwa saya
memang terjebak di dunia anak.
Rabu, 11 Januari 2017
Kali Kedua
Pukul 2 dini hari, saya belum bisa tidur dengan lelap. Beberapa hari terakhir, memang saya sedikit gelisah dan merasa ada yang mengganjal di hati. Mau curhat, tapi kok berasa tidak ada yang dikeluhkan. Ingin jalan-jalan, tapi kok ya badan berasa tidak nyaman.
Awalnya saya dan suami sudah curiga kalau saya 'isi' lagi. Namun, kami juga tidak mau kePDan. Memang seharusnya saya datang bulan akhir bulan Desember lalu, tetapi sampai kemarin (11 Januari 2017) saya belum juga 'dapat'.
Beberapa hari yang lalu kami memang sengaja beli testpack. Jaga-jaga kalau beneran saya tidak datang bulan sampai akhir Januari.
Kembali ke adegan dini hari tadi. Saya dan suami sengaja tes. Setelah testpack saya masukkan ke cawan berisi (maaf) pipis, dalam hitungan detik kami tahu bahwa muncul 2 strip merah disana.
Lega dan agak bingung. Alhamdulillahnya, kami kembali mendapat kepercayaan menjaga nyawa yang akan membawa kami menuju surga (InsyaAllah). Bingungnya, kami menatap putra pertama kami yang tengah tidur pulas. Detik itu juga, ia kami ajak untuk menjadi dewasa, mengayomi, dan mulai belajar berbagi.
Terimakasih ya Allah. Ini yang terbaik untuk kami. Berikan jalan yang lurus, jalan penuh berkah, dan limpahkanlah rezeki sehat pada kami semua. Permudah liku kami dan sempurnakanlah yang ada pada kami.
Mulai hari ini, kami sudah waktunya mempersiapkan hati.
Bismillah.
:)
Awalnya saya dan suami sudah curiga kalau saya 'isi' lagi. Namun, kami juga tidak mau kePDan. Memang seharusnya saya datang bulan akhir bulan Desember lalu, tetapi sampai kemarin (11 Januari 2017) saya belum juga 'dapat'.
Beberapa hari yang lalu kami memang sengaja beli testpack. Jaga-jaga kalau beneran saya tidak datang bulan sampai akhir Januari.
Kembali ke adegan dini hari tadi. Saya dan suami sengaja tes. Setelah testpack saya masukkan ke cawan berisi (maaf) pipis, dalam hitungan detik kami tahu bahwa muncul 2 strip merah disana.
Lega dan agak bingung. Alhamdulillahnya, kami kembali mendapat kepercayaan menjaga nyawa yang akan membawa kami menuju surga (InsyaAllah). Bingungnya, kami menatap putra pertama kami yang tengah tidur pulas. Detik itu juga, ia kami ajak untuk menjadi dewasa, mengayomi, dan mulai belajar berbagi.
Terimakasih ya Allah. Ini yang terbaik untuk kami. Berikan jalan yang lurus, jalan penuh berkah, dan limpahkanlah rezeki sehat pada kami semua. Permudah liku kami dan sempurnakanlah yang ada pada kami.
Mulai hari ini, kami sudah waktunya mempersiapkan hati.
Bismillah.
:)
Langganan:
Postingan (Atom)