Tentang Hari Ini
Oleh: Vika Varia Matovana
Saat ini sedang dalam mode: bosan
membaca dan malas menulis. Padahal kalian sudah tahu jika segala kebutuhanku,
sebut saja: makan, minum, baju, rokok, party, jalan-jalan, arisan, dan hal sepele lainnya
seperti ganti keset dan handuk mandi, diperoleh dari uang hasil ketik-mengetik,
undangan diskusi, atau paling kerennya diundang sebagai dosen tamu di sebuah
universitas. Belum lagi untuk masalah bensin, meskipun kadang juga dibayari
oleh panitia-tapi itu saat ada undangan-, jika tidak, mobilku tentu saja
sekarat.
Sudah kucoba untuk meditasi, bergulung di
kasur, membuat susu coklat panas yang ironisnya tersisa satu sachet saja
di rak dapur, dan disokong dengan kuah mengepul dari mie instan rasa soto,
nyatanya tidak bisa membangkitkan gairah menuju meja kerja. Beberapa buku baru,
tentunya yang tidak terlalu berat semacam karya tulis ilmiah atau jurnal dari
pesohor, sudah sempat kubeli minggu lalu. Mendapatkan bacaan yang sedang pop
pun bukan hal sulit. Karyawan toko buku sudah kadung akrab. Tanpa diminta, ia
akan memberi kabar terbaru tentang buku apa saja yang rilis. Padahal sebenarnya
itu merupakan ajang promosi. Ah, sudahlah. Kuartikan niat baiknya sebagai media
untukku biar tidak terlalu ketinggalan info buku terbaru. Ada untungnya juga
berakrab-akrab dengan karyawan itu.
Ting. Kubaca nama pengirim. Iwan Gramodia.
Ah, panjang umur dia. Padahal baru minggu lalu ketemu.
Iwan Gramodia: Mbak, fresh nih!
Kupu-Kupu Melayang karya Pita Swara, Anak Ketela Pohon karya CTT, dan Pelangi
di Ujung Kulon-nya Jamal Jawil udah datang. Disimpankan gak?
Me: Ya. Trims
Iwan Gramodia: BiographyJendral Bintang
Tujuh gak, Mbak?
Me: Boleh 1.
Kuhirup aroma lemon di bokor kecil, wadah
kecil aromateraphy yang sengaja kuletakkan di dekat jendela terbuka.
Padahal jika dipikir, uap aroma akan lebih banyak keluar kamar daripada masuk
ke ruangan ber-AC-ku. Biarlah. Biar dihirup juga oleh beberapa burung yang
bertengger di dahan bunga jepun sebelah kamarku.
Ting.
Iwan Gramodia: Cara Cepat Menangkap
Jangkrik dan Budidaya Ulat Bulu gak sekalian, Mbak?
Me:
Aku bukan petani, Wan.
Iwan
Gramodia: Referensi gak apa-apa, toh!
Tak kubalas pesannya. Emang dasar Si Iwan
yang selalu update. Tidak pernah kira-kira tentang buku apa saja yang
ditawarkan. Ada-ada saja. Segala macam tentang hewan tak luput dari penawaran.
Kulempar gawai ke kasur dan pelan-pelan membuka laptop. Mungkin saja ada ide
menarik dan ada gairah untuk mulai menulis. Menulis apa saja. Bebas. Toh dompet
udah tipis. Kalau satu tulisan saja besok bisa terbit, minimal minggu ini
mobilku masih bisa bergerak dan isi kulkas kembali normal. Sempat nelangsa
melihat isi kulkas tersisa dua butir telur dan sebiji wortel.
Ting.
Iwan Gramodia: Mbak, barusan input
Autobiography penyanyi dangdut yang baru kena kasus dengan pejabat XYZ. Nulis
buku juga dia.
Me: Siapa?
Iwan Gramodia: Itu loh yang lagunya
Goyang Serbet. Mau gak?
Duh, apa-apaan sih Si Iwan. Kusesap susu
coklat panas yang sekarang jadi dingin. Tapi tadi memang benar-benar panas.
Jadi meskipun dia jadi dingin, tetap kusebut susu coklat panas. Kuletakkan
cangkir bermotif batik di pinggir jendela.
Ting.
Ya Tuhan! Pasti Si Iwan juru promosi.
Dasar sales!
Biola:
Mau jalan gak?
Ternyata bukan. Ah, pasti akan
menghabiskan uang kalau keluar dengan Biola ini. Sukanya ngajak, tapi bayarnya
sendiri-sendiri. Males. Prinsipku, kalau niat mengajak atau katakanlah sibuk
woro-woro untuk nyari hiburan, ya itu tanggung jawab dia mengakomodasi segala
kebutuhan. Kecuali memang tidak sengaja bertemu atau ada agenda untuk saling
berbagi bill, okelah saling buka dompet. Tapi kapok juga lah,
berkali-kali jalan, nyatanya parkir saja masih patungan.
Me:
Sibuk banget, gak bisa diganggu. Next time kali, ya! 😊
Basa-basi yang basi. White lie.
Sesekali bolehlah. Nyatanya aku memang sibuk sekali. Sibuk memutar kepala biar
otak jadi encer. Entah karena apa kepala bisa jadi mampet begini. Padahal sudah
seminggu berdiam diri, tidak memboroskan waktu dengan berkeliaran menghamburkan
uang. Semedi seminggu memang karena sedang tipis saja sebenarnya. Tapi
sebenarnya, aku juga sedang sibuk mencari inspirasi untuk menulis. Aku ingin
seperti penulis-penulis lain yang ber-i’tikaf atau katakanlah berikhitiar
dengan cara yang lebih tenang, tanpa ingar bingar lampu gegap gempita atau
kepulan asap rokok. Oh, ya! Sudah seminggu pula rokokku utuh, hanya sedikit
tersentuh. Masih tersisa tujuh batang. Tumben! Ini kejaiban, Pemirsa!
Eh, apakah aku menulis tentang rokok saja?
Rasanya menarik. Kutulis dengan judul Gadis Tembakau. Wah, pasti akan populer,
laris manis di pasaran, dan untung-untung jika bisa difilmkan. Jika memang
benar akan difilmkan, aku mau pemainnya Dian Sosro, Itu Jamil, dan Masrio
Banyu. Wah, pasti epic!
Baiklah. Akan kubuat grand desain
isi ceritanya terlebih dahulu. Eh, bukan. Aku akan membuat list siapa
saja yang akan kuajak bekerjasama dalam membuat film yang akan meledak di
pasaran. Tentu saja meledak secara konotatif.
Kusulut sebatang rokok untuk sedikit
memberi kesan bahwa aku butuh memanaskan otak sebelum digas. Kuhirup pelan
asapnya, kubiarkan melewati tenggorkan menuju paru-paru. Biarkan ia
menari-nari menjalar sebentar di dalam dada sebelum kembali kuembuskan melalui
lubang hidung dan sengaja kubuat pola O menyembul dari bibir tipisku.
Sutradara kupilih yang mumpuni. Bolehlah
antara Haning Bram Tyo atau Mira Esmana. Produser sudah pasti jatuh kepada
mereka warga aca-aca. Pemain-pemain sudah lengkap. Jika ada kekurangan,
misalnya figuran di beberapa scene, gampang saja itulah. Bisa dipikirkan
sambil jalan.
Tuhan! Mie rasa sotoku membengkak! Saking
sibuknya mereka-reka masa depan perfilman Indonesia, ia terabaikan. Sayang jika
tak termakan, akhirnya kuputuskan jeda sejenak. Kutinggalkan laptop dan membawa
mangkuk mie-ku yang sudah menggelembung ke meja kerja. Sesendok masuk ke mulut
dan rasanya..., ya masih soto lah.
Gusti Yang Maha Agung! Rokokku juga
terabaikan. Sayang sekali ia terbakar dengan percuma. Padahal jika dikalkulasi,
sebungkus rokok berisi dua belas batang dengan harga tiga puluh lima ribu
rupiah. Sebatang seharga Rp. 2.916,67. Ia sudah terbakar tiga per empat jalan.
Mungkin sekitar Rp. 2.187,50 sudah hangus. Segera saja kumelesat untuk
memanfatkan sisanya. Tanpa pikir panjang, kuisap saja tujuh ratus dua puluh sembilan koma seratus enam puluh tujuh rupiah sisanya. Ah, nikmat!
Apa itu bergerak-gerak dan berkerumun di
ujung daun jendela? Ya Allah! Apa-apaan ini! Susu coklat panasku yang sudah
dingin ternyata sedang dijadikan ajang pesta pora oleh semut-semut
yang...biad...oh, bukan! Mereka semut-semut baik yang mungkin sedang haus.
Ting.
Iwan
Gramodia: Mbak, buku penyanyi dangdutnya mau gak? Namanya Candu Bohay ternyata,
Mbak. Promo dan diskon 85%. Langsung bungkus, ya!
Apalagi ini ?!!! Arrgahhh!!!!