Jumat, 04 Agustus 2017

Mama yang Pelupa


Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang terburu-buru.
“Ma…Mama lupa ya hari ini belum kiss?” tanya Kakak sembari memeluk saya.
Saya terlonjak dibuatnya. Otomatis saya menghentikan kegiatan membaca, kemudian tersenyum. Saya sambut tangan kecilnya, merangkul, dan menciumnya.
Kejadian seperti itu hampir di setiap kesempatan. Tak terhitung berapa kali dalam sehari, Kakak melontarkan pertanyaan yang sama. “Mama belum kiss, lho! Mama lupa ya?”
Ah, saya memang seorang Mama yang menuju ke arah pikun barangkali. Hal sepele, seperti menciumnya saja, harus diingatkan berulan kali. Apa saya yang terlalu egois karena lebih nyaman dengan dunia saya? Dunia lembar yang saya suka, terkadang membuat kebersamaan kami (saya dan Kakak) seolah kualitasnya menjadi berkurang.
Betapa bodohnya saya, ya? Kebutuhan non-verbal Kakak belum sepenuhnya bisa saya penuhi. Manisiawi kalau memang lupa adalah sifat. Tetapi mengapa saya yang terus-menerus mendapat teguran dari Kakak?
Maaf ya, Sayang. Bukannya Mama lupa. Namun terkadang Mama berpikir, kita bisa bersama dua puluh empat jam (meskipun aktivitas bersentuhan masih kerap) saja sudah cukup. Kakak sibuk dengan mainannya, saya yang ribet dengan leptop dan buku, serta kadang kami (masih dan tetap) saling bercanda satu sama lain.
Namun, pernyataan dan pertanyaan Mama belum kiss, lho! Mama lupa ya?”  membuat saya sangat terperangah sekaligus tertohok, karena ternyata Kakak masih ‘haus’ kasih sayang. Semoga Kakak juga tidak pernah lelah untuk mengingatkan saya yang pelupa.


Mencintai Buku (Part #1 Membaca)


Saya seorang Ibu dari bocah laki-laki yang biasa dipanggil Kak Coy dan tengah mengandung delapan bulan. Selama ini saya aktif mengajar di sebuah sekolah di bawah Yayasan Astra Agro Lestari.
Selain mengajar, sebenarnya saya yang memang suka dengan dunia anak, saya juga menggemari rutinitas membaca dan menulis. Kedua hal yang menjadi kegemaran saya itu, kadang menjadi hal yang meresahkan bagi keluarga saya.
Kali ini, saya akan bercerita tentang membaca terlebih dahulu.
Dulu waktu masih usia sekolah, setiap malam Ayah saya yang selalu membereskan semua buku saya yang berantakan. Hobi membaca novel dan cerita fiksi lain, membuat orang tua saya sedikit khawatir. Takut kalau saya lebih memilih membaca buku cerita ketimbang buku pelajaran. Meskipun untuk membaca sendiri merupakan ‘paksaan’ dari Ibu saya dan turunan langsung dari Ayah, tetapi kebiasaan saya yang kerap memaksaakan diri membaca di bawah temaram dan terlentang, membuat kedua orang tua saya terus-menerus menegur. Intinya, membaca sih boleh. Asal buku pelajaran (yang dominan dibaca), di bawah terang lampu, dan posisi duduk yang benar.
Tapi apalah daya, kalau sudah PW (Posisi Wenak) dengan kondisi  abnormal, semua teguran itu seolah angin lalu. Orang tua khawatir dengan jam tidur saya yang acak adul, kesehatan mata saya, dan Ayah yang kadang ngomel harus memunguti beberapa buku saya yang jatuh di kolong tempat tidur.
Sejak kecil saya sudah ‘didoktrin’ untuk suka membaca, terutama oleh Ibu saya. Paksaan yang membawa berkah sih. Saat kelas lima SD, saya membuka perpustakaan mini di rumah. Difasilitasi dengan rak plastik bersusun, beberapa koleksi buku, komik anak, dan majalah, saya pajang di sana. Saya memberlakukan sistem penyewaan. Maklum, naluri mata duitan masih kental. Haha. Rp.50,- per buku jangka waktu satu minggu. Itu di tahun 1997-1998. Usaha saya kurang berhasil. Karena minat baca teman-teman saya sungguh menyedihkan. Mereka cenderung lebih senang bermain di sungai atau melakukan permainan lainnya.
Akhirnya saya siasati dengan membawa beberapa majalah ke pojok lapangan menggunakan sepeda. Saya ajak beberapa teman untuk membaca. Gratis tanpa dipungut biaya! Hasilnya kurang lebih sama dengan pengalaman sebelumnya. Teman-teman saya hanya banyak berkomentar tentang gambar, bukan isi bacaannya. Sedih lah saya.
Sudahlah, saya tidak akan memaksa. Toh selera dan kebutuhan setiap orang berbeda. Saya kembali ke dunia bacaan saya dan teman-teman kembali ke habitatnya.
Ada satu kejadian lucu yang terjadi antara saya dan buku. Saking cintanya saya terhadap buku, waktu rak buku di rumah kami terkena tempias hujan alias kebocoran, saya nangis parah seperti kehilangan apaaaa gitu! Ayah saya dengan setia menjemur buku saya, telaten menguliti satu persatu, dan berjanji akan mencarikan rak buku yang lebih baik.
Tahukah Anda, kejadian rak buku kebocoran itu saat  saya usia berapa? Dua puluh enam tahun dan sudah memiliki satu anak! Tapi saya nangisnya sudah seperti putus cinta,merana ditinggal kekasih. Haha, terlalu lebay apa alay? Tak apa lah.
Setelahnya, banyak sekali kejadian yang berhubungan dengan buku dan memancing emosi saya. Saking cintanya saya terhadap buku, saya sungguh tidak rela kalau buku yang dipinjam oleh teman ternyata tidak kembali alias hilang bin raib atau kembali tapi dengan kondisi yang sudah berantakan. Di situ naluri saya untuk melindungi buku merasa terusik.
Saya tidak mungkin ngomel-ngomel seperti emak-emak yang syok mendengar harga cabe naik. Tapi saya menandai nama mereka yang telah menghilangkan dan merusak buku saya. Blacklist! Nama mereka saya coret otomatis dari dunia pinjam-meminjam buku. 
Saya tidak suka buku terlipat halamannya, penuh corat-coret tidak jelas (karena kalau ada kosakata baru, saya mencatat di buku lain), atau  kadang gerah jika ada oknum yanag tidak menghormati buku (berserakan, seolah tidak dihiraukan).
Oleh karena itu, saya akan menyimpan baik-baik buku saya, selektif dalam memilih peminjam, feedback/refleksi cerita dengan orang yang sudah meminjam buku saya, dan mencoba menularkan kesukaan saya terhadap sesama untuk mencintai buku. Selain itu, saya ingin punya perpustakaan sendiri yang lengkap dan besar di rumah saya!!!!!
Books, I love you!



Sudahkah bilang I Love You hari ini?

Cerita pagi yang setiap hari selalu membuat hati saya luluh lantak. Apa pasal? Melewati masa cuti tiga bulan, sengaja saya manfaatkan untuk full time dengan Kakak. Selama ini kami hanya bertemu sore sampai malam hari. Sisanya, Kakak bersama pengasuhnya. Oleh karena itu, saya benar-benar ingin menghabiskan waktu dua puluh empat jam dengan Kakak.
Selain untuk menebus kebersamaan yang hilang selama ini, saya ingin melihat langsung perkembangan dan ‘mendekatkan’ diri secara lahir batin dengan Kakak. Saya bisa menikmati moment dimana Kakak molet baru bangun sampai harus marah-marah saat malam menyuruhnya untuk tidur.
Hasilnya bisa saya lihat, Kakak nampak senang bukan kepalang. Ceria terus! Nah, ini yang membuat saya semakin ciiintaaaaa….Setiap baru bangun, Kakak pasti langsung bilang,”Ma…peluk!”.
Ya,otomatis saya peluk dia dan cium kening meskipun masih bau apek dan (maaf) iler. Haha. Tak masalah! Di situ istimewanya. Selama ini saat sore bertemu dengannya, kondisi Kakak sudah bau keringat dan matahari selepas main seharian. Jadi, aroma bangun tidur yang khas itu sungguh-sungguh saya nikmati.
Kalimat kedua yang diucapkan Kakak setelahnya (yang membuat saya tambah klepek-klepek) adalah, “Kakak sayang sama Mama!”. Ah, senyum mentari dan cahya rembulan mah lewaaaat! Saya dengan cepat menjawab, “Mama juga sayang Kakak.” Hati saya bermekaran, mengalahkan mekarnya bunga Asoka di depan rumah. Haha.
Setelah saya memandikan dan mengganti bajunya, selalu Kakak meminta untuk dicium dan tak lupa ia berujar, “I Love You, Ma! Adek juga.” (sembari mencium perut saya yang buncit). Tanpa pikir panjang saya jawab, “Love You, too!
Tiga kalimat ajaib yang terlontar dari bocah polos ini membuat saya menjadi seorang Mama yang luar biasa. Bagaimana tidak? Saya yang selama ini memang hanya separuh hari bertemu dengannya, langsung merasa utuh setelah setiap hari mendengar kalimat-kalimat yang luar biasa hebat itu.


Nah, untuk semua Mama di dunia ini, sudahkah bilang I Love You hari ini pada buah hati tercinta? Meskipun hati saya senang bukan kepalang mendengar apa yang diucapkan Kakak, tapi saya merasa kecolongan. Karena selalu Kakak yang mendahului mengucapkan kalimat romantis kepada saya, bukan saya duluan. Oleh karenanya, Anda semua sebaiknya memulai ya! Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. J

Rabu, 02 Agustus 2017

'Diperkosa' Kasih Sayang

Selamat pagi!
Gundah gulana dan sedikit linu mengawali pagi saya kali ini. Sudah dua hari tidak nyaman untuk beristirahat malam. Pasalnya, kondisi perut saya sudah membesar (hamil tua, 8 bulan euy!). Tidur miring kanan-kiri bukan solusi. Apalagi terlentang atau tengkurep? Yang terakhir jelas tak mungkin.
Selain itu, pikiran saya tengah terganggu dengan hal -yang sebenarnya sepele- tapi krusial. Selama bulan puasa kemarin masalah ini sudah muncul. 
Ibu yang momong (mengasuh) anak saya, tiba-tiba mau berhenti. Dulu dia pernah bilang dua kali, sih! Tapi saya tolak karena anak saya tipe anak yang susah berbaur dengan orang lain, apalagi orang baru. Saya minta dengan sangat -baca: memohon- agar dia merelakan waktunya untuk tetap momong si Kakak.
Pusing pala berbie waktu dia terlihat sedikit enggan. Saya dan suami pun putar otak untuk cari ganti. Jam 9 pagi dia minta keluar, jam 12 siang saya muter cari pengasuh baru. Sudah ada pandangan dan menurut saya orang baru itu cocok untuk si Kakak, eh...ternyata dia tidak ada di rumah. Kacaulah saya. Saya pasrah, nangis, dan berpikir belum jodoh.
Demi melihat saya yang terus sesenggukan dan bolak-balik meratapi wajah Kakak yang lugu, suami saya akhirnya mengajak saya jalan-jalan dulu. Refresh otak, katanya. Biar nggak stress. Nyatanya saya tetap stress, kepikiran, dan kasihan dengan Kakak.
Selepas Magrib, kami kembali mendatangi rumah calon pengasuh Kakak yang baru. Oke fix, kami langsung ketemu, to the point (tanpa mukadimah), lanjut deal. Alhamdulillah. Hanya butuh sekitar lima belas menit berbincang dan akhirnya besok mulai kerja. Saya juga pamitan pada pengasuh yang lama dan mengucapkan terimaksih karena sudah hampir empat tahun bersama Kakak. Meski agak mellow, saya harus ikhlas. Apalagi Kakak, dia nempel terus sama pengasuhnya. Iiih...jadi sedih plus geregetan!
Apakah masalah langsung terselesaikan dengan kehadiran pengasuh baru, pemirsa? Oh...ternyata TIDAK!
Saat pengasuh baru -sebut saja Mak A- datang, Kakak melihatnya seperti orang asing. Padahal semalam sudah kami ajak kenalan. Oke, Kakak memang tipe anak yang introvert dalam pergaulan. Dia hanya mau sama teman yang sudah bertahun-tahun dikenal. Di lingkungan perumahan saja, ia hanya mau bermain dengan anak di depan rumah. Selain anak itu, Kakak akan cuek setengah mampus! Aaarrggh!!!
Kembali ke hari pertama Mak A kerja di rumah kami. Sudah saya beritahu tentang ini-itu kepada Mak A, perihal hal yang boleh atau tidak boleh, sesuatu yang bisa dan tidak bisa untuk si Kakak. Setelah jelas, dengan berat hati saya pun berangkat kerja. Tidak tega sebenarnya meninggalkan Kakak begitu saja. Saat di kantor, hati saya ketar-ketir. Kepikiran kondisi Kakak di rumah.
Saat jam istirahat, saya putuskan untuk menjenguk Kakak. Hasilnya? Kakak terlihat baru mandi dan tengah menonton tv. Tapi ada yang beda. Kakak jadi lebih pendiam. Waktu melihat saya masuk rumah, Kakak langusng meneteskan air mata. Kakak tidak menangis yang meraung-raung manja, hanya air matanya yang tiba-tiba mengalir. Bukankah itu pertanda kalau hatinya sangat sedih? Saya jadi ikut nyesek dan langsung peluk si Kakak.
"Are you okay, Boy?" tanya saya saat Kakak sudah ada di dekapan.
Kakak menggeleng pelan. Deg! Hati saya jadi tambah ikut sedih.
"Dari tadi diam aja, Bu! Saya tawari segala macam, nggak mau ngomong. Saya juga bingung," jawab Mak A.
Saya paham dan tidak menyalahkan siapa pun. 
Tahukah Anda, kondisi seperti itu berlangsung selama empat hari! Kakak mogok bicara, hati saya ketar-ketir selama ninggalin Kakak, dan air mata kembali menetes saat saya jenguk Kakak. Tambah sedih hati saya.
Oke, otak kembali berputar. Saya dan suami kembali ke rumah pengasuh yang lama. Dengan amat sangat memohon, saya meminta dia untuk mau momong Kakak lagi. Masalahnya, setiap bangun tidur, Kakak langsung memanggil pengasuhnya dan nangis bombay. Selama empat hari, pagi hari kami selalu diwarnai dengan sedih dan tangis.
Syukurnya, pengasuh yang lama mau menerima tapi saya juga harus cari pengganti sembari dia momong lagi.
Mak A yang bekerja di rumah kami tidak serta merta kami berhentikan. Kami minta untuk bantu bersih-bersih rumah tanpa momong Kakak dan kami siapkan untuk momong Adik nanti. Kondisi seperti itu berjalan selama dua bulan.
Oh ya, saya juga punya Mbak yang bagian nyetrika. Nah, ternyata setelah lebaran kemarin, Mbaknya juga minta berhenti karena dia ada praktik dari sekolahnya. Okelah saya lepas dan saya yang ganti bertugas nyetrika di rumah.
Nah, selama saya cuti ini, saya ingin memanfaatkan waktu saya bersama Kakak. Saya pamitan ke pengasuh Kakak bahwa selama tiga bulan biar Kakak sama saya. Dia pun mau dan nampak senang, saya pun tidak tahu pasti.
Seiring waktu berjalan (cieeee....), Kakak lambat laun kadang mau kadang tidak sama Mak A. Saya pun tidak memaksa. Takut Kakak belum siap dan terluka hati. Saya pun bersikap biasa saja, takut Kakak nanti berubah pikiran.
Tapi ternyata oh ternyata, masalah (yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan) justru datang dari luar. Saya mendengar selentingan kalau pengasuh Kakak yang lama ternyata memang niat ingin keluar dengan alasan yang tidak bisa saya sebutkan di sini (tidak etis ya, guys!).
Menangislah saya mendengar gosip itu. Karena selain gunjingan yang tidak jelas, di dalam rumor itu terdapat beberapa fitnah yang sebenarnya saya merasa tidak pernah melakukan. Sakit hati saya!!!
Selain itu, tiba-tiba saja ada beberapa orang yang mau mendaftar bekerja di rumah saya. Saya juga bingung. Apa-apaan ini? Wong yang satu minta keluar, tiba-tiba saya diberondong dengan beberapa orang baru. Ah, tidak saya hiraukan. Saya harus selektif dan menimbang banyak hal agar tidak terjadi fitnah lagi.
Sehari semalam saya dan suami merefleksi diri. Apa salah dan kurang kami, sehingga begitu banyak berita di luaran yang ternyata menyudutkan saya. Jadi pengen mewek lagi kalau ingat fitnah dan omongan nggak jelas itu! Huhuhu
Saya kembali putar otak dan berdiskusi dengan suami. Kebetulan ada Mbak B yang baru keluar kerja dari teman saya (karena alasan yang juga tidak bisa saya sebutkan di sini). Mbak B baik orangnya, tapi masih punya baby. Saya coba pikir ulang. Siapa tahu selama tiga bulan PDKT, Kakak mau sam Mbak B. Karena Kakak sebelumnya sudah pernah tahu dan mengenal Mbak B.
Saya menawari Mbak B untuk nyetrika dulu sembari mengenal lingkungan rumah dan siapa tahu Kakak mau sama Mbak B. Entahlah...
Dari sekian banyak tulisan dan curhatan saya, akhirnya saya menyadari bahwa secara tidak langsung sebagai orang tua kita tidak mau kalau anak kita ditelantarkan, berubah jadi pendiam, hatinya tidak nyaman, dan murung terus menerus. Meskipun juga secara tidak langsung saya juga 'menelantarkan' anak dengan alasan bekerja. Sebenarnya saya yang jahat dan tidak tahu diri. Huhuhu
Selama cuti ini saya benar-benar merasa 'diperkosa' oleh anak saya. Dia 'memaksa' saya untuk tetap ada di sisinya dan selalu memberikan yang terbaik untuknya.
Putar otak cari pengasuh yang cocok dan pas ternyata sangat sulit. Hal itu juga yang ternyata 'memperkosa' pikiran saya. 
Kondisi memaksa, memohon, dan dipaksa tangguh untuk tetap mencurahkan kasih sayang terhadap anak ternyata memang membutuhkan ketegaran hati dan kekuatan jiwa. Kalau tidak, bisa saja saya putar balik, frustasi, dan bunuh diri (Ah, lebay!).
Demi anak saya, saya harus menebalkan telinga, menata hati, koreksi diri, dan mencoba bertahan!