Minggu, 18 Februari 2024

Tentang Hari Ini


 

Tentang Hari Ini

Oleh: Vika Varia Matovana

Saat ini sedang dalam mode: bosan membaca dan malas menulis. Padahal kalian sudah tahu jika segala kebutuhanku, sebut saja: makan, minum, baju, rokok, party,  jalan-jalan, arisan, dan hal sepele lainnya seperti ganti keset dan handuk mandi, diperoleh dari uang hasil ketik-mengetik, undangan diskusi, atau paling kerennya diundang sebagai dosen tamu di sebuah universitas. Belum lagi untuk masalah bensin, meskipun kadang juga dibayari oleh panitia-tapi itu saat ada undangan-, jika tidak, mobilku tentu saja sekarat.

Sudah kucoba untuk meditasi, bergulung di kasur, membuat susu coklat panas yang ironisnya tersisa satu sachet saja di rak dapur, dan disokong dengan kuah mengepul dari mie instan rasa soto, nyatanya tidak bisa membangkitkan gairah menuju meja kerja. Beberapa buku baru, tentunya yang tidak terlalu berat semacam karya tulis ilmiah atau jurnal dari pesohor, sudah sempat kubeli minggu lalu. Mendapatkan bacaan yang sedang pop pun bukan hal sulit. Karyawan toko buku sudah kadung akrab. Tanpa diminta, ia akan memberi kabar terbaru tentang buku apa saja yang rilis. Padahal sebenarnya itu merupakan ajang promosi. Ah, sudahlah. Kuartikan niat baiknya sebagai media untukku biar tidak terlalu ketinggalan info buku terbaru. Ada untungnya juga berakrab-akrab dengan karyawan itu.

Ting. Kubaca nama pengirim. Iwan Gramodia. Ah, panjang umur dia. Padahal baru minggu lalu ketemu.

Iwan Gramodia: Mbak, fresh nih! Kupu-Kupu Melayang karya Pita Swara, Anak Ketela Pohon karya CTT, dan Pelangi di Ujung Kulon-nya Jamal Jawil udah datang. Disimpankan gak?

Me: Ya. Trims

Iwan Gramodia: BiographyJendral Bintang Tujuh gak, Mbak?

Me: Boleh 1.

Kuhirup aroma lemon di bokor kecil, wadah kecil aromateraphy yang sengaja kuletakkan di dekat jendela terbuka. Padahal jika dipikir, uap aroma akan lebih banyak keluar kamar daripada masuk ke ruangan ber-AC-ku. Biarlah. Biar dihirup juga oleh beberapa burung yang bertengger di dahan bunga jepun sebelah kamarku.

Ting.

Iwan Gramodia: Cara Cepat Menangkap Jangkrik dan Budidaya Ulat Bulu gak sekalian, Mbak?

Me: Aku bukan petani, Wan.

Iwan Gramodia: Referensi gak apa-apa, toh!

Tak kubalas pesannya. Emang dasar Si Iwan yang selalu update. Tidak pernah kira-kira tentang buku apa saja yang ditawarkan. Ada-ada saja. Segala macam tentang hewan tak luput dari penawaran. Kulempar gawai ke kasur dan pelan-pelan membuka laptop. Mungkin saja ada ide menarik dan ada gairah untuk mulai menulis. Menulis apa saja. Bebas. Toh dompet udah tipis. Kalau satu tulisan saja besok bisa terbit, minimal minggu ini mobilku masih bisa bergerak dan isi kulkas kembali normal. Sempat nelangsa melihat isi kulkas tersisa dua butir telur dan sebiji wortel.

Ting.

Iwan Gramodia: Mbak, barusan input Autobiography penyanyi dangdut yang baru kena kasus dengan pejabat XYZ. Nulis buku juga dia.

Me: Siapa?

Iwan Gramodia: Itu loh yang lagunya Goyang Serbet. Mau gak?

Duh, apa-apaan sih Si Iwan. Kusesap susu coklat panas yang sekarang jadi dingin. Tapi tadi memang benar-benar panas. Jadi meskipun dia jadi dingin, tetap kusebut susu coklat panas. Kuletakkan cangkir bermotif batik di pinggir jendela.

Ting.

Ya Tuhan! Pasti Si Iwan juru promosi. Dasar sales!

Biola: Mau jalan gak?  

Ternyata bukan. Ah, pasti akan menghabiskan uang kalau keluar dengan Biola ini. Sukanya ngajak, tapi bayarnya sendiri-sendiri. Males. Prinsipku, kalau niat mengajak atau katakanlah sibuk woro-woro untuk nyari hiburan, ya itu tanggung jawab dia mengakomodasi segala kebutuhan. Kecuali memang tidak sengaja bertemu atau ada agenda untuk saling berbagi bill, okelah saling buka dompet. Tapi kapok juga lah, berkali-kali jalan, nyatanya parkir saja masih patungan.

Me: Sibuk banget, gak bisa diganggu. Next time kali, ya! 😊

Basa-basi yang basi. White lie. Sesekali bolehlah. Nyatanya aku memang sibuk sekali. Sibuk memutar kepala biar otak jadi encer. Entah karena apa kepala bisa jadi mampet begini. Padahal sudah seminggu berdiam diri, tidak memboroskan waktu dengan berkeliaran menghamburkan uang. Semedi seminggu memang karena sedang tipis saja sebenarnya. Tapi sebenarnya, aku juga sedang sibuk mencari inspirasi untuk menulis. Aku ingin seperti penulis-penulis lain yang ber-i’tikaf atau katakanlah berikhitiar dengan cara yang lebih tenang, tanpa ingar bingar lampu gegap gempita atau kepulan asap rokok. Oh, ya! Sudah seminggu pula rokokku utuh, hanya sedikit tersentuh. Masih tersisa tujuh batang. Tumben! Ini kejaiban, Pemirsa!

Eh, apakah aku menulis tentang rokok saja? Rasanya menarik. Kutulis dengan judul Gadis Tembakau. Wah, pasti akan populer, laris manis di pasaran, dan untung-untung jika bisa difilmkan. Jika memang benar akan difilmkan, aku mau pemainnya Dian Sosro, Itu Jamil, dan Masrio Banyu. Wah, pasti epic!

Baiklah. Akan kubuat grand desain isi ceritanya terlebih dahulu. Eh, bukan. Aku akan membuat list siapa saja yang akan kuajak bekerjasama dalam membuat film yang akan meledak di pasaran. Tentu saja meledak secara konotatif.

Kusulut sebatang rokok untuk sedikit memberi kesan bahwa aku butuh memanaskan otak sebelum digas. Kuhirup pelan asapnya, kubiarkan melewati tenggorkan menuju paru-paru. Biarkan ia menari-nari menjalar sebentar di dalam dada sebelum kembali kuembuskan melalui lubang hidung dan sengaja kubuat pola O menyembul dari bibir tipisku.

Sutradara kupilih yang mumpuni. Bolehlah antara Haning Bram Tyo atau Mira Esmana. Produser sudah pasti jatuh kepada mereka warga aca-aca. Pemain-pemain sudah lengkap. Jika ada kekurangan, misalnya figuran di beberapa scene, gampang saja itulah. Bisa dipikirkan sambil jalan.

Tuhan! Mie rasa sotoku membengkak! Saking sibuknya mereka-reka masa depan perfilman Indonesia, ia terabaikan. Sayang jika tak termakan, akhirnya kuputuskan jeda sejenak. Kutinggalkan laptop dan membawa mangkuk mie-ku yang sudah menggelembung ke meja kerja. Sesendok masuk ke mulut dan rasanya..., ya masih soto lah.

Gusti Yang Maha Agung! Rokokku juga terabaikan. Sayang sekali ia terbakar dengan percuma. Padahal jika dikalkulasi, sebungkus rokok berisi dua belas batang dengan harga tiga puluh lima ribu rupiah. Sebatang seharga Rp. 2.916,67. Ia sudah terbakar tiga per empat jalan. Mungkin sekitar Rp. 2.187,50 sudah hangus. Segera saja kumelesat untuk memanfatkan sisanya. Tanpa pikir panjang, kuisap saja tujuh ratus dua puluh sembilan koma seratus enam puluh tujuh rupiah sisanya. Ah, nikmat!

Apa itu bergerak-gerak dan berkerumun di ujung daun jendela? Ya Allah! Apa-apaan ini! Susu coklat panasku yang sudah dingin ternyata sedang dijadikan ajang pesta pora oleh semut-semut yang...biad...oh, bukan! Mereka semut-semut baik yang mungkin sedang haus.

Ting.

Iwan Gramodia: Mbak, buku penyanyi dangdutnya mau gak? Namanya Candu Bohay ternyata, Mbak. Promo dan diskon 85%. Langsung bungkus, ya!

Apalagi ini ?!!! Arrgahhh!!!!