Selasa, 10 Mei 2022

Di Batas Pintu Hati


 

Di Batas Pintu Hati

Oleh: Vika Varia Matovana

 

Sudah lebih sepuluh menit aku duduk di teras berubin putih ini. Seharusnya loket sudah dibuka sejak tadi. Tapi sayang, sampai saat ini belum ada tanda-tanda dibuka.

Kulipat-lipat kertas kecil berwarna biru untuk membunuh kebosanan. Kadang kubuat menyerupai kapal, pesawat, atau lebih banyak tak berbentuk, hanya kuremas-remas saja. Di depanku, dua anak kecil sibuk berlarian sembari membawa jagung yang tinggal bonggolnya saja. Salah satu di antara mereka, tangan kirinya memegang seplastik es teh yang tinggal separuh saja isinya.

Melihat isi plastik itu, tiba-tiba saja tenggorakanku terasa haus. Ah, pasti segar sekali jika menyeruput es teh di panas terik seperti sekarang ini. Penjual pentol keliling sibuk melayani pelanggan. Aroma yang disebarkan oleh bumbu bakso menggoda perutku. Tapi seperti nasib es teh bayangan tadi, aku harus menahan diri untuk tidak membeli apa pun sebelum bisa bertemu dengan Mas Iik.

Ya, aku sudah berniat untuk bisa sarapan bersama dengan Mas iik, suamiku. Aku sudah menyiapkan bekal istimewa untuk bisa berbagi makanan dengannya. Tempe goreng, sambal ati, dan lodeh kacang panjang sudah terbungkus rapi di plastik.

Kubuka kresek putih di sampingku, memastikan lagi isinya. Bekal sarapan, mie instan yang sudah terbuka bungkusnya, beberapa sachet kopi instan, sabun cuci yang sudah kutuang dalam botol air mineral, dan beberapa camilan kesukaan Mas Iik.

“Sepuluh!” Teriakan itu seketika membuyarkan lamunanku. Aku bergegas menuju loket.

“KTP!” Aku mengulurkan KTP yang sedari tadi sudah kusiapkan.

“Foto dulu!” Aku memasang wajah sedikit tersenyum pada kotak hitam kecil yang di tengahnya terpasang lensa lebih kecil.

“Sudah. Tunggu dulu di sana!” tunjuk petugas loket.

Hari ini tidak seperti biasanya. Selain cuacanya lebih panas, bawaanku sedikit lebih berat. Mas Iik memintaku membawakan beberapa surat penting untuk diurusnya. Beberapa lembar fotokopi kertas-kertas yang aku tidak tahu isinya dan barang-barang pesanannya, seperti beberapa pasang baju putih. Aku sedikit beruntung karena tidak berangkat terlalu pagi seperti biasanya, naik motor dengan bawaan yang banyak seperti ini. Kebetulan ada mobil yang akan ke pasar dan aku diperbolehkan menumpang.

Anak pembawa es teh tadi sudah berhenti berlarian. Mungkin dia lelah. Sebagai gantinya, ia berselonjoran santai di sebelahku. Teras berubin putih yang kami duduki ini rasanya jarang tersapu. Buktinya rokku sudah mulai ada bercak berwarna coklat, tanda debu menempel dengan baik di kainku.

“Satu sampai lima!” Suara petugas membuatku semakin bingung, antara haru, senang, dan tegang. Aku bisa memastikan saat bertemu dengan Mas Iik nanti, kami akan saling menangis dan susah untuk bercerita banyak hal. Kondisi seperti itu sudah sering kami lalui. Kami hanya berpegangan tangan, enggan melepas, dan sama-sama menangis. Kami tidak perlu mengeluarkan banyak kata-kata. Airmata kami sudah mewakili dan mampu menerjemahkannya.

Mengingat wajah Mas iik yang sedikit lebih kusam karena kurang mendapatkan perhatian, membuat hatiku melecus ingin segera mengusapkan lotion pembersih muka. Mas Iik yang tidak suka dengan haal-hal yang jorok, kini terpaksa harus berteman dengan hal yang kurang disukainya. Itu membuatku sedikit berat saat melihat kulitnya yang mulai menghitam dan mengering, tanda kurang memperhatikan kebersihan.

Belum lagi badannya yang kurus, membuatku merasa semakin bersalah karena seolah mengabaikan kesehatannya. Oleh karenanya, setiap kali aku datang, aku sebisa mungkin membawakan makanan kesukaan Mas Iik.

“Coba kalau istrinya nggak nuntut banyak hal, pasti semuanya baik-baik saja.”

“Itu sih karena salah pergaulan saja.”

Berbagai opini dan prasangka muncul tiba-tiba. Cemooh dan prihatin tak ada bedanya. Bahkan aku juga semakin susah membedakan mana yang benar-benar bertanya atau hanya sekadar basa-basi. Saat banyak anggapan muncul, aku hanya bisa tersenyum tipis dan sibuk meminta doa.

“Enam sampai sepuluh!”

Aku segera bangkit menuju pintu bercat abu-abu, mengulurkan kartu berwarna biru yang sudah hampir tak berbentuk. Pergelangan tangan kiriku segera mendapat stempel sebagai tanda izin masuk ruangan. Dengan beberapa perempuan lain, kami menyerbu ruangan berukuran sekitar 4 x 4 meter dengan cat berwarna abu-abu, lebih gelap dari cat pintu depan tadi.

Kami yang berada di ruangan temaram itu seolah sudah kompak dan terorganisir, langsung membentuk lingkaran dan menyingkap pakaian kami masing-masing secara otomatis. Petugas menggeledah tubuh kami bergiliran dan memastikan kami tidak membawa benda berbahaya. Kami yang sebenarnya sedang diliputi perasaan berduka, sontak tertawa-tawa saat mendapati salah satu di antara kami digeledah pada bagian tertentu oleh petugas. Menurutku ini hiburan tersendiri. Sedikit tertawa lepas sebelum saling menangis saat bertemu dengan Mas Iik nanti.

“Uangnya nggak usah banyak-banyak, ya! Tiga ratus ribu maksimal,” seru petugas yang menggeledah kami. Perempuan kurus tapi tegas dan bersuara lantang. Kami ‘iya-iya’ sambil keluar ruangan secara berebut. Sandal dan kaus kaki sudah kumasukkan ke dalam kresek berwarna kuning yang sudah disediakan oleh petugas. Kresek putih yang berisi makanan dan perlengkapan Mas Iik sudah selesai diperiksa.

Aku melewati pintu besi, tinggi menjulang berwarna perak.

Kulihat kerumunan orang-orang sibuk berlalu lalang. Semua saling mencari. Pengeras suara memanggil nama satu persatu.

“Yayuk!”

Aku melihat tubuh kurus Mas Iik, dibalut kaos putih dengan rompi orange. Celana lusuh berwarna biru yang dipakai Mas Iik membuat mataku tidak bisa terlalu lama menahan airmata. Hatiku sudah menangis sejak pertama kali datang ke tempat ini. Jadi, airmata yang keluar setiap kunjungan adalah hal lumrah yang terus kudapati.

Kami saling berpelukan, seolah sekian tahun tidak bertemu. Padahal dua minggu lalu kami sudah bertemu untuk melepas rindu.

“Sakit?” tanyaku. Mas Iik menggeleng lemah kemudian menggiringku untuk duduk di bangku taman. Beberapa bunga asoka tumbuh dengan baik. Kuncup kecil mengelilingi daun-daun asoka. Beberapa pot berisi bunga mawar mengelilingi kolam ikan di depan kami.

“Sarapan, yuk!” ajakku. Segera kubuka kresek putih yang sudah kusiapkan dengan diiringi perasaan haru tadi pagi. Seperti biasa, saat menyiapkan bekal untuk Mas Iik, airmataku turut andil dan mengambil peran dalam mengobrak-abrik perasaanku.

“Sambal atinya pedas, lho Mas,” godaku. Aku berusaha mencairkan suasana, tapi gagal. Airmataku lebih dulu jatuh dan itu tidak bisa membohongi perasaanku.

“Maafkan aku, Yuk! Kamu pasti kerepotan,” ujar Mas Iik terbata. Genggaman tangannya sedikit meredakan amarah yang kemudian kusesali karena sempat marah padanya. Aku menggeleng mendengar kata-katanya yang berat. Mas Iik pasti selalu merasa bersalah. Ia terus merasa seperti itu sampai kapan pun.

“Kita makan saja, Mas,” alihku. “Aku sudah lapar. Lama sekali petugasnya membuka pintu. Sebal jadinya,” selorohku.

Mas Iik melepas genggamannya. Dibukanya bungkusan yang berisi tempe goreng. Dituangnya perlahan kuah lodeh kacang panjang ke piring plastik yang kubawa.

“Aku suapin, ya!” bujuknya manja. Terus terang saja aku tersipu mendengarnya. Belum sempat menjawab, sesendok penuh berisi nasi dan lauk hampir mendarat ke mulutku, memaksaku untuk segera membuka mulut.

“Makan yang banyak, Yuk. Biar kamu nggak sakit-sakitan. Badan sudah tambah kurus begitu,” ujar Mas Iik.  “Sakit?” imbuhnya.

Aku menggeleng. Badanku memang kurang sehat beberapa hari terakhir. Hujan yang terus turun selama dua hari, menyebabkan kondisi badanku sedikit memburuk. Flu dan batuk mendera. Tapi aku tidak mau Mas Iik tahu tentang hal itu. Toh, cuma sakit biasa.

“Jangan capek-capek, Yuk. Nggak usah mikir aneh-aneh. Aku baik-baik saja di sini, lebih tenang,” jelasnya kemudian.

Aku sibuk mengunyah makanan di mulut, tidak bisa menjawab dengan segera. Padahal sebenarnya aku hanya pura-pura sibuk mengunyah demi menghindari mata Mas Iik. Mata yang sudah memporak-porandakan kehidupanku. Mata yang dulu membuatku jatuh cinta. Mata yang selalu membuatku bangga akan sikap ksatrianya. Mata yang sekarang redup karena kesalahannya. Mata itu kali ini sudah tidak punya warna. Tapi aku yakin, ada secercah harapan di balik mata itu.

“Ini!” Aku menyerahkan beberapa kertas yang sudah diminta oleh Mas Iik tempo hari. Berkas pengajuan dan entah apa lagi, aku tak tahu.

“Terima kasih, Yuk!” Matanya melukiskan berjuta-juta maaf yang tidak bisa terucap. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Kali ini aku pura-pura sibuk membereskan bekas makan kami. Tangan Mas Iik mencegah kegiatanku. “Biar aku saja yang membereskan,” ujarnya.

“Yuk, apakah kamu kuat?” Napasku menderu mendengar pertanyaan itu. Mas Iik menambahkan, “Ini tidak mudah untuk kita, Yuk. Aku minta maaf.”

Kali ini airmataku tak bisa lagi dibendung. Tanpa malu lagi aku benar-benar menangis.

Dadaku hangat oleh pelukan Mas Iik. Begitu banyak orang berkumpul di tempat itu, tapi tak satu pun yang mengganggu atau mengusik kami. Semua saling tak peduli, sibuk dengan diri sendiri. Aku bersyukur dengan kondisi tak acuh seperti itu. Aku bebas membalas pelukan Mas Iik. Pelukan yang sebisa mungkin tak mau kulepas.

Hidup memang relatif. Dua jam terasa lama bagi mereka yang menunggu. Sepertiku yang tadi menganggap petugas bekerja sangat lamban karena membuka pintunya telat sepuluh menit. Tapi dua jamku dengan Mas Iik kali ini terasa sangat cepat.

Aku sudah berjalan menuju pintu besi yang menjulang tadi.

“Yuk, maukah kamu menungguku?” pintanya lirih.

Aku tidak bisa menjawab. Mengangguk atau menggeleng pun sudah tak mampu. Aku hanya bisa menangis kemudian mencium tangannya. Tak perlu kujelaskan seberapa besar kesetiaanku yang sudah kusiapkan untuknya.

Esok lusa, aku akan kembali ke tempat ini dengan kondisi yang sama.

Menangis dan saling menguatkan.

Pintu tertutup dan hatiku kembali sesak. 

 

                                                               Editing pagi hari di meja kerja, 11 Mei 2022