Minggu, 04 Agustus 2019

Baca, Baca, Baca!



Ih, gatel juga tangan saya untuk segera mengetik dan membahas tentang uneg-uneg saya. Apalagi sedang viral pemboikotan dan perampasan sejumlah buku yang dianggap ‘membahayakan’ oleh beberapa pihak di beberapa toko buku. Bahkan, 2 mahasiswa yang menggelar baca buku gratis pun terkena cydux. Di mana tujuan utama mereka, yang saya yakini berawal dar niat baik untuk meningkatkan minat baca, berujung pada interogasi pihak berwajib. Kesalahan mereka hanya satu: menyajikan buku yang dianggap ‘dosa’.  Cek deh di gugel!
Sangat disayangkan, temans.  Survei yang menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sudah taraf memprihatinkan, ditambah gangguan gadget yang tidak digunakan sesuai kebutuhan, sekarang ditambah dengan disisirnya beberapa buku dengan judul ‘kiri’.
Begini, saya terjemahkan menurut perspektif saya. Sebenarnya apa sih tujuan penulis itu? Menurut saya pribadi adalah:
1.    Menuangkan ide dan memberikan informasi.
2.    Sebagai sarana hiburan dan mengembangkan imajinasi.
Dari dua alasan yang menurut saya sudah umum, tentunya kedua alasan tadi juga secara tidak langsung akan dirasakan oleh pembaca. Pertama, pembaca bisa menemukan ide baru dan tentunya informasi gres yang bahkan belum pernah didapatkan sebelumnya. Saya yang tiap hari baca saja masih merasa bodoh gak ketulungan. Apa kabar yang bahkan babarblas gak pernah baca dan nyentuh buku?
Kedua, dengan membaca ternyata penikmat buku diberikan ruang untuk berimajinasi dan merasa terhibur. Lalu apa kabar mereka yang tidak pernah mengolah pikiran kreatif mereka karena enggan berdekatan dengan bacaan?
Perkara pembaca akan ‘terhasut’ atau tepengaruh dengan isi buku, rasanya perlu tes ketangguhan hati. Tidak semua buku akan langsung berpengaruh detik itu juga. Pembaca yang cerdas adalah mereka yang mampu mengolah dan mencari korelasi dari satu bacaan ke bacaan lainnya. Pembaca yang baik tidak langsung begitu saja termakan oleh satu bacaan. Terlalu naif jika dengan satu buku, pikiran kita akan berubah dari A menjadi X.
Wah, banyak-banyakin deh buka buku dan cari bacaan yang lain. Kalau sampai terpengaruh oleh satu buku saja, berarti harus cek ulang tingkat kewarasannya.
Membaca sekarang dipermudah dengan kehadiran e-book. Gak perlu bayar mahal dan antri panjang di toko buku hanya untuk mendapatkan bacaan yang bagus. Cukup searching atau buka aplikasi tertentu, klik, silakan dinikmati deh tuh isinya.
Ironisnya, saat ini yang berkembang dan banyak terjadi adalah: menghakimi buku yang dianggap berbahaya!
Sebentar, rasanya saya perlu ceritakan bahwa saya juga mempelajari Injil dan membaca Weda. Apakah keyakinan saya langsung berubah berdasarkan agama dari kedua kitab suci itu? Tidak, kawans! Keyakinan ada di hati. Namun saya jadikan kedua kitab suci itu sebagai bahan untuk menambah wawasan saya agar berkembang –bukan membandingkan-.
Selain itu, saya juga mempelajari buku-buku yang menceritakan etnis China dan kehidupan biarawati. Apakah dengan membacanya otomatis kulit saya berubah jadi putih cling dan mata menjadi sipit? Tentu tidak!
Saran saya, beli dulu bukunya, baca isinya, baru kemudian tentukan pilihan. Atau jangan-jangan kalian gak mampu beli jadi main rampas gitu aja?

Rabu, 31 Juli 2019

Tak Semanis Itu




Tak Semanis Itu
Namaku Gendis. Biasanya dipanggil Ninis. Entah dari mana pangkalnya hingga D berganti N secara masif. Mungkin karena aku terlihat manis, mereka spontan memanggilku Nis dan diulangnya menjadi Ninis. Kalau dilihat-lihat, memang aku berparas manis. Jadi tak salah penilaian orang terhadapku. Bukankah yang menilai diri kita adalah orang lain? Bukankah tugas kita memang membuat bahagia orang lain? Ya, memang begitu alurnya.
Aku suka dipuji dan tentu saja orang pertama yang selalu memujiku berkali-kali tiada henti adalah Ayahku. Ibuku tak pernah melakukan itu karena kata ayah, ibu sudah berpulang. Entah pulang kemana. Saat itu aku kelas dua SD dan memang tidak tahu maksud dari ‘berpulang’ itu.
Setiap pagi ayah selalu menyisir rambutku dengan rapi ketika hendak berangkat sekolah. Teman-temanku banyak yang menaruh iri karena ayah mereka tidak ada yang peduli dengan kondisi rambut mereka. Entah banyak kutu, pirang, atau tak pernah potong rambut sekali pun. Jadi tak usah heran jika aku selalu terlihat rapi dan bersih dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Banyak teman-teman lelakiku yang usil menggoda. Tapi aku tidak selemah itu. Aku adalah perempuan tercerewet di kelas. Aku berani memukul perut Johan saat ia ketahuan mengintip rok Mita. Johan harus menerima rintihan akibat perbuatannya. Belum lagi aku harus menjewer telingan Agus dan Priyo ketika mereka menarik kuncir rambut Sedayu. Ya, Sedayu yang gampang menangis itu adalah sasaran empuk anak-anak usil yang tidak tahu malu. Tapi untung saja aku sigap membela Sedayu sebelum seluruh rambut Sedayu benar-benar rontok. Tidak bagus juga untuk Sedayu yang cantik jika esok hari harus sekolah dengan kepala botak hanya karena beberapa bagian rambutnya dipotong dengan paksa.
Aku adalah siswa paling rewel jika ada anak yang susah mengerjakan bilangan bulat atau pecahan. Apalagi pelajaran itu sudah diulang berpuluh kali oleh guru kami, Bu As. Kasihan Bu As jika siswanya tidak pernah nyambung saat diberi pelajaran. Aku yang harus teriak-teriak menenangkan teman-teman satu kelas saat jam kosong. Sampai SD kelas enam jabatanku berangkap-rangkap. Ketua kelas iya, sekretaris iya, bendahara iya. Atau bahkan tanpa sepengetahuanku, aku sudah ‘dilantik’ menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan kelas oleh Bu As.
Saat usiaku memasuki dua belas tahun, SD kelas enam kala itu, ayah semakin perhatian terhadapku. Aku dibelikannya hand and body lotion dengan aroma mawar. Wah, harum sekai. Aku jadi suka mengoleskannya hampir di semua bagian tubuhku. Karena saat kubaca cara pakainya,  lotion itu memang digunakan untuk tangan dan badan. Jadi aku tidak salah mengaplikasikannya, kan?
Sejak saat itu, semakin banyak mata yang terpesona melihatku. Belum lagi aku semakin gemar bersolek dengan membeli banyak krim untuk wajah, beberapa bedak, dan pernah mencoba membeli eyeshadow. Tak perlu berburuk sangka, sampai aku SMA, eyeshadow itu hanya kupakai sekali saja, itu pun saat baru membeli kemudian kuhapus lagi karena kulihat mataku menjadi aneh, seperti bengkak.
Umurku sudah empatbelas tahun saat aku memulainya. Ya, aku memulai sebuah ritual yang awalnya ganjil tapi lambat laun menjadi kebiasaan. Hampir setiap malam, aku mengendap ke kamar gelap dan di sana sudah menunggu ayahku. Ayah bilang, dengan melakukan ritual itu, pesonaku semakin terpancar. Aku yang memang senang akan pujian tentu saja manut. Meskipun mulanya aku merasa tubuhku bau dan lembab entah karena basah atau hanya perasaanku saja.
Malam pertama melakukannya, aku serba salah dan merasa sekujur tubuhku lengket. Malam-malam berikutnya tugasku adalah mendesah dan menggelinjang. Lambat laun aku sudah bisa mengikuti ritme dan alurnya.
Namun sejak itu juga aku merasa ada yang berubah dalam diriku. Aku lebih pendiam. Predikatku sebagai siswa tercerewet menguap. Orang-orang terlihat maklum saja melihat perubahanku. Mereka bilang aku sudah beranjak remaja, gadis desa, dan memang sudah bisa mengontrol emosi. Itu pandangan mereka. Tapi terus terang saja bukan itu yang aku rasakan, walaupun aku hanya mengangguk manis saat banyak orang memuji perubahanku yang terlihat lebih kalem.
Tapi tidak pada bulan-bulan berikutnya. Banyak mata melihatku dengan aneh. Tak jarang yang mencibir hingga terang-terangan bertanya kepadaku. Pertanyaan-pertanyaan yang menganggu terus saja dilontarkan oleh mulut-mulut usil kurang kerjaan. Mereka yang awalnya memuji sekarang justru berbalik mencela. Teman-teman baikku yang dulu selalu kubela, saat ini banyak yang menghindar dengan berbagai alasan.
“Nis, bapakmu kok nggak kawin lagi?” atau “Nis, kok gendutan?” atau yang lebih langsung tepat sasaran, “Hamil ya, Nis?” Diam adalah pilihan saat banyak terlontar berbagai tanya yang justru memang tidak bisa kujawab. Sudah kubilang, hidup ini tugasnya adalah untuk memenuhi kebutuhan orang lain baik itu melayani pertanyaan atau sajian penampilan. Seperti saat ini aku yang terus diserang oleh hal yang sebenarnya menguliti diriku sendiri. Ironi sekali, bukan?
Memang waktu yang akan menjawab. Saat banyak cibiran datang, saat itu juga aku merasa ada perubahan dalam tubuhku. Aku gampang sakit-sakitan dan masuk angin. Badanku sering demam dan seringkali aku muntah tanpa sebab. Kepala mendadak pusing seperti kekurangan darah. Ayah membawaku ke bidan terdekat. Hasilnya tentu sudah bisa kalian terka.
Tak butuh waktu lama, aku dan Ayahku memutuskan menghindari tatapan sinis banyak orang dengan segera pergi dari tempat tinggal kami. Biarkan mereka sibuk berceloteh asal ayahku tetap menjagaku.
Sekolahku putus begitu saja. Aku tidak memikirkan banyak hal kecuali kesehatanku dan kebersamaan dengan ayahku. Bagaimana dengan ritual kami? Kami terus melakukannya. Entah apa yang ada di benak kami sehingga kami masih saja bergelung di kamar gelap hingga bertahun-tahun lamanya. Anehnya, aku tidak pernah membenci ayahku. Di dunia ini hanya ayah yang menjaga dan melindungiku meskipun...ah!
Lagi-lagi waktu memainkan perannya. Ayahku tiba-tiba ambruk setelah keluar dari kamar mandi. Detik itu juga Ayahku tak bergerak lagi. Bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah? Tak bisa kuceritakan.
Aku memutuskan pergi ke kota berkat ajakan seorang kenalan ayah. Di sana aku menumpang hidup sampai waktu itu tiba. Kenalan Ayah dengan seenak udelnya berkata, “Kamu bekerja saja dengan baik. Layani mereka dengan sopan. Biar dia kubawa, tak usah kau tanya lagi.”
Tak pernah lagi aku secerewet dulu. Aku  bungkam dan memilih menuruti petuah kenalan ayah karena kupikir itulah yang terbaik.
Namaku Gendis. Saat ini aku tidak lagi dipanggil Ninis. Bersamaku sebatang rokok menyala dan melekat baju dengan kain kurang bahan.



Selasa, 30 Juli 2019

Rindu Julian



Ketika memutuskan untuk menceritakan kisah ini, aku sedang menunggu seesorang yang memang membuat ‘janji’ denganku. Kopiku sudah terasa hangat, waktuku untuk menyeruput. Butuh waktu sekitar enam atau tujuh menit bagiku untuk siap menikmati kopi dengan suhu yang sesuai menurutku.
Adalah hal klasik jika seseorang duduk di pojok cafe, ditemani rintik hujan dan dengan suasana senja temaram. Persis seperti cerita di film atau novel roman. Harus kuakui jika suasana seperti ini sangat menjual. Hujan, senja, dan kopi adalah sesuatu yang sangat komersil. Nyatanya, aku mengalaminya sendiri. Satu lagi, suasana seperti ini tentu menggambarkan suasana hati yang gundah atau sedang putus cinta.
Bedanya, aku sedang jatuh cinta. Meskipun aku didukung oleh hujan, senja, dan kopi, nyatanya aku sedang tidak patah hati. Justru sebaliknya.
Minggu lalu aku baru saja membuat pakta dengan seorang gadis yang tentu saja sudah masuk daftar seleksi dari banyaknya perempuan yang sudah tiga tahun terakhir dekat denganku. Aku adalah tipe manusia berjakun yang susah untuk jatuh cinta. Pasalnya aku pernah sangat terluka. Banyak yang mengira bahwa aku adalah sosok badboy dengan dandanan cuek ditambah tampang yang lumayan untuk memikat banyak gadis. Pembawaanku santai, bisa dikatakan supel, cenderung banyak yang menganggapku playboy. Tentu saja stigma itu muncul karena aku dengan kerelaan hati sering tidak bisa menolak permintaan beberapa gadis untuk ditemani hanya untuk ngobrol atau sekedar makan malam. Tapi di balik itu semua, hatiku sudah tertambat. Ya, tertambat oleh luka yang jika kuingat akan menyisakan perih. Asal kamu tahu, aku memang pandai menyembunyikan luka. Tak banyak yang tahu saat aku terpuruk dan berada di titik terendah. Aku selalu menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja, tak ada apa-apa, dan i’ll be okay!
Baik, sembari menunggu pesanan nasi gorengku, meskipun kopi sangat tidak nyambung dengan nasi goreng, biar saja, aku lapar, aku akan ceritakan bagaimana patah dan sakitnya hatiku.
Di luar langit masih mendung. Kali ini aku susah untuk membedakan apakah sudah benar-benar malam atau memang langit sedang gelap karena tertutup awan. Kulihat jam yang menempel pada dinding cafe. Sudah pukul lima lebih tigabelas.
“Aku masih banyak tugas. Besok harus dikumpulkan. Aku kerjakan di kamarmu, ya?” Sebenarnya kamu bukan bertanya atau meminta saat mengatakan itu. Buktinya buku-bukumu beserta banyaknya kertas sudah berserakan di lantai kamarku. Aku hanya mengangguk saja, antara pasrah karena kamarku terlihat sangat berantakan dan senang karena seharian ini bisa bersamamu.
“Tidak ada kelas?” tanyamu sambil terus menulis, tidak sedikit pun menoleh padaku. Padahal pertanyaan itu jelas terarah padaku. Aku maklum karena di kamar ini hanya ada kita berdua, tentu kamu tak perlu sibuk mengangkat kepala dan sudah pasti pertanyaan itu untukku.
Lagi malas, jawabku kala itu. Aku menyulut rokok dan duduk bersandar di pintu yang terbuka. Kamu adalah perempuan yang tidak cerewet saat aku sibuk merokok. Kamu hanya akan marah jika aku lupa solat atau sibuk party  dan mabuk-mabukan. Jika kedua hal itu sampai ketahuan olehmu, bisa jadi seminggu tidak akan keluar satu kata pun dari bibir mungilmu. Kamu adalah orang yang konsisten. Ya, konsisten dan kuat untuk diam saat marah. Padahal kalau kamu sedang baik dan tidak PMS, banyak cerita yang keluar dan selalu banyak tawa saat kita bersama. Kamu yang lucu, aku yang konyol, kamu yang tertib, aku yang urakan, kamu yang populer, aku yang sangat jatuh cinta padamu, dan aku senang saat kamu memelukku atau menciumku tanda terima kasih sudah diantar pulang atau jalan-jalan adalah hal-hal yang tidak pernah bisa aku lupakan sampai saat ini.
“Kalau bolos terus, kapan selesainya?” tanyamu sedikit ketus.
Ah, kamu memang suka judes kalau menyangkut masa depan. Ya, aku bolos kuliah juga salah satu hal yang paling kamu selidik dari kehidupanku. Padahal hal yang paling aku senangi di kampus adalah saat-saat mengantar dan menjemputmu kuliah. Waktu itu aku merasa seperti pangeran berkuda putih yang menjemput puteri tercintanya. Aku tidak mau kamu sibuk dengan teman-temanmu saat kelas sudah usai. Aku ingin buru-buru menjemputmu dan membawamu pulang ke kamarku. Apalagi jika aku melihat kamu bercengkrama dengan beberapa teman priamu, tertawa lepas, bahkan tak jarang saling pukul atau tinju-tinju kecil di antara gelak itu. Aku tak suka. Terus terang saja aku cemburu.
Malam itu kamu kembali sibuk dengan beberapa tugas. Lama-lama aku bosan dengan kegiatanmu. Kamu sudah jarang bisa diajak jalan-jalan seperti sebelum jadwal kuliahmu penuh. Kamu terlalu banyak mengambil SKS. Aku tak suka dengan kamu yang seperti itu meskipun banyak yang bilang kamu adalah gadis populer dan pintar di kampus. Seharusnya aku bangga dengan predikatmu, tapi aku bukan pria wajar yang rela melihatmu sibuk dan aku merasa diabaikan.
Kamu terus saja menulis, membuka-buka buku-buku tebal yang kamu sebut referensi, dan terus diam larut dalam tugas. Aku berdehem hanya untuk sekedar mencari perhatian. Kamu bergeming. Kusulut sebatang rokok, kuhembuskan dan kumainkan asapnya agar aku sedikit ada aktivitas.
Setelah sekitar setengah jam, kulihat kamu membereskan kertas-kertasmu. Ah, ini waktunya kamu utuh jadi milikku, pikirku kala itu.
Tanpa pikir panjang, kumatikan rokokku sembarangan. Kuhampiri kamu yang sibuk memasukkan buku ke dalam tas. Kuacak-acak rambutmu agar kamu terhibur. Kamu terlihat biasa saja. Ah, mungkin kamu pura-pura, ingin diperlakukan lebih. Kontan saja, aku segera mengecup keningmu dan ternyata kamu membalas lebih dari itu.
Kamu menerobos saja, menggigit bibirku. Tentu saja aku senang. Karena aku laki-laki yang punya jiwa tak mau kalah, kubalas ciumanmu dengan lebih ganas. Seperti biasa, kita bergelung saling sikut di kasur. Kamu semakin beringas dan aku tambah ganas. Sayangnya, setelah dua tahun kita bergelung, adegan terakhir selalu sebatas ciuman, tak lebih.
Pernah di sudut hatiku merasa kecewa dengan ending  yang begitu-begitu saja. Tapi aku tidak pernah bisa memaksamu untuk menerima saluran hasratku sebagai lelaki.
“Aku sudah capek. Sepertinya tidak ada harapan,” ujarmu tiba-tiba setelah kita sibuk tertawa dan saling lempar ciuman. Tentu saja aku tidak paham apa maksudmu.
“Rasanya tidak ada kepastian dengan apa yang kita jalani.” Setelahnya kamu diam dan kembali sibuk membenahi isi tasmu. Rasanya itu hanya adegan pura-pura agar kamu tak terlihat grogi.
Kali ini aku paham, meskipun aku tidak pernah siap dengan kejadian ini. Aku yang selalu membayangkan kita akan selamanya bisa seperti ini, ternyata hanya dengan kata ‘capek, harapan, dan kepastian’, aku harus benar-benar mengubur semuanya.
Bagimu semuanya simple. Setelah kamu bilang “usai saja”, kamu melenggang entah kemana. Aku? Jelas saja aku tidak tahu akan kemana. Kita tidak pernah bertemu lagi setelah itu, nomormu ganti, dan kamu seolah menghilang begitu saja.
Pelukan-pelukan itu, ciuman-ciuman itu, tawa-tawa itu, sirna semua.
Tak ada lagi makan malam bersama, tak ada lagi antar jemput kuliah, tak ada lagi pertengkaran kecil karena aku sengaja tidak solat dan jelas aku kembali party dan terus-menerus mabuk. Berhari-hari aku menjadi kacau. Bukan. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun hingga saat ini. Terhitung sudah limabelas tahun.
Aku menyimpan luka selama itu. Bisa kau bayangkan bagaimana palsunya hidupku.
Hatiku nyeri bahkan sampai saat ini saat menunggumu. Alunan musik menambah syahdu, tapi tidak dengan hatiku. Kuseruput kopiku yang hampir tandas menyisakan ampas. Nasi gorengku sudah dingin dan aku tidak lagi berselera untuk menyantapnya. Kamu belum juga datang.
Kubuka lagi pesan yang kamu kirimkan semalam.
“Aku rindu, Julian!”
Ternyata selama belasan tahun aku masih belum mengenalmu dengan baik. Kupikir pesan itu isyarat untuk melebur rindu. Aku sudah tahu tempat dan waktunya, hanya sampai saat ini aku belum tahu isi hatimu.
Kopiku tinggal ampas, nasi gorengku sudah tak menarik, dan hatiku masih terluka.
 Last July 2019, 08:35


Minggu, 21 April 2019

Semoga SELAMAT sampai Tujuan.

Selamat pagi Indonesia!

Bagaimana kondisi hati saat ini? Apakah masih panas gegara Pilpres 2019 atau sudah dihangatkan dengan peringatan Hari Kartini?
Aduh, kalau ngomongin Pilpres emang gak ada habisnya. Makan hati, pikiran gak tenang, juga kadang sibuk cari bahan untuk ngelawaan. Lho, Madame kok tahu? Iyalah! Beberapa kali sempat debat kusir saling membela calon, trus dikata-katain yang aneh-aneh, belum lagi kepikiran untuk berniat balas dendam yang mengakibatkan malamnya susah tidur. Besoknya pas kerja ngantuk berat. Karena Madame masih mau waras, saatnya untuk 'bersih-bersih' diri.
'Bersih-bersih' yang dimaksudkan adalah dengan mendetoks pikiran agar gak ribet sama Pilpres yang mulai menyisir mana nama yang penting dan gak penting di kontak HP.
Bukan mau memutus silaturahmi, bukan! Tapi ini lebih ke moment menenangkan diri. Sebenarnya Madame bukan tipe yang gampang ngapus kontak, sih! Tapi ini udah kelewat batas sampe bawa-bawa agama and intelektualitas.
Madame kembali merenung, apakah ini baik untuk dilakukan? Madame menganalisa sisi postif dan negatifnya. Rasanya memang benar-benar harus keluar dari orang-orang yang bikin gak nyaman. Iya kan? Bermusuhan sih nggak, ya. Ini adalah jalan yang Madame tempuh untuk bisa mengademkan pikiran dan mata aja.
Sebenarnya Madame sih kebal aja dikatain yang enggak-enggak. Tapi mungkin Madame sedang sensitif dan berusaha menjaga harga diri. Penting, lho! Dengan cara apa? Ya Madame sudah merendah, serendah-rendahnya sampai tiarap dan akhirnya berusaha untuk menghindari pertikaian untuk kembali bangkit di sisi lain.
Oke, cukup sudah bertengkar dan sakit hatinya. Saatnya Madame kembali ke habitat. Madame kembali menulis, sibuk baca majalah, ngobrol dengan suami, cerita-cerita sama anak-anak, dan fokus untuk mendoakan anak-anak kelas 6 yang Ujian Nasional dimulai hari ini.
Mengenakan kebaya kuning berjilbab merah maroon, Madame harus move on dari segala hiruk pikuk komen-komen gak jelas. Meskipun masih suka stalking IG dan FB, tapi jari-jari harus direm. Wajarlah, namanya juga manusia. Setan ada di sekililing. Kalau gak membentengi diri sendiri, gimana mau bertahan? Iya gak?
Sesuai dengan tujuan awal Madame, Madame ingin tebar kebaikan&berusaha melakukan yang terbaik apa pun itu.
Sudahi mencaci maki dan saling dengki. Itu bukan porsi Madame untuk ikut ribet ngurusi yang bukan bagiannya.
Mulai sekarang, yuk kembali ke lingkungan positif!
Selamat Hari Kartini. Selamat Hari Bumi Dunia. Selamat Ujian Nasional SD-SMP. Selamat sibuk dengan banyak hal. Selamat menulis di blog lagi, Bu Madame. Dan semoga kita semua selamat sampai tujuan.
I Love You!