Ketika memutuskan untuk menceritakan
kisah ini, aku sedang menunggu seesorang yang memang membuat ‘janji’ denganku. Kopiku
sudah terasa hangat, waktuku untuk menyeruput. Butuh waktu sekitar enam atau
tujuh menit bagiku untuk siap menikmati kopi dengan suhu yang sesuai
menurutku.
Adalah hal klasik jika seseorang duduk
di pojok cafe, ditemani rintik hujan
dan dengan suasana senja temaram. Persis seperti cerita di film atau
novel roman. Harus kuakui jika suasana seperti ini sangat menjual. Hujan,
senja, dan kopi adalah sesuatu yang sangat komersil. Nyatanya, aku mengalaminya
sendiri. Satu lagi, suasana seperti ini tentu menggambarkan suasana hati yang
gundah atau sedang putus cinta.
Bedanya, aku sedang jatuh cinta. Meskipun
aku didukung oleh hujan, senja, dan kopi, nyatanya aku sedang tidak patah hati.
Justru sebaliknya.
Minggu lalu aku baru saja membuat pakta
dengan seorang gadis yang tentu saja sudah masuk daftar seleksi dari banyaknya
perempuan yang sudah tiga tahun terakhir dekat denganku. Aku adalah tipe
manusia berjakun yang susah untuk jatuh cinta. Pasalnya aku pernah sangat
terluka. Banyak yang mengira bahwa aku adalah sosok badboy dengan dandanan cuek ditambah tampang yang lumayan untuk
memikat banyak gadis. Pembawaanku santai, bisa dikatakan supel, cenderung
banyak yang menganggapku playboy. Tentu
saja stigma itu muncul karena aku dengan kerelaan hati sering tidak bisa
menolak permintaan beberapa gadis untuk ditemani hanya untuk ngobrol atau
sekedar makan malam. Tapi di balik itu semua, hatiku sudah tertambat. Ya,
tertambat oleh luka yang jika kuingat akan menyisakan perih. Asal kamu tahu,
aku memang pandai menyembunyikan luka. Tak banyak yang tahu saat aku terpuruk
dan berada di titik terendah. Aku selalu menunjukkan bahwa semuanya baik-baik
saja, tak ada apa-apa, dan i’ll be okay!
Baik, sembari menunggu pesanan nasi
gorengku, meskipun kopi sangat tidak nyambung dengan nasi goreng, biar saja,
aku lapar, aku akan ceritakan bagaimana patah dan sakitnya hatiku.
Di luar langit masih mendung. Kali ini
aku susah untuk membedakan apakah sudah benar-benar malam atau memang langit
sedang gelap karena tertutup awan. Kulihat jam yang menempel pada dinding cafe. Sudah pukul lima lebih tigabelas.
“Aku masih banyak tugas. Besok harus dikumpulkan.
Aku kerjakan di kamarmu, ya?” Sebenarnya kamu bukan bertanya atau meminta saat
mengatakan itu. Buktinya buku-bukumu beserta banyaknya kertas sudah berserakan
di lantai kamarku. Aku hanya mengangguk saja, antara pasrah karena kamarku
terlihat sangat berantakan dan senang karena seharian ini bisa bersamamu.
“Tidak ada kelas?” tanyamu sambil terus
menulis, tidak sedikit pun menoleh padaku. Padahal pertanyaan itu jelas terarah
padaku. Aku maklum karena di kamar ini hanya ada kita berdua, tentu kamu tak
perlu sibuk mengangkat kepala dan sudah pasti pertanyaan itu untukku.
Lagi malas, jawabku kala itu. Aku menyulut
rokok dan duduk bersandar di pintu yang terbuka. Kamu adalah perempuan yang
tidak cerewet saat aku sibuk merokok. Kamu hanya akan marah jika aku lupa solat
atau sibuk party dan mabuk-mabukan. Jika kedua hal itu sampai
ketahuan olehmu, bisa jadi seminggu tidak akan keluar satu kata pun dari bibir
mungilmu. Kamu adalah orang yang konsisten. Ya, konsisten dan kuat untuk diam
saat marah. Padahal kalau kamu sedang baik dan tidak PMS, banyak cerita yang
keluar dan selalu banyak tawa saat kita bersama. Kamu yang lucu, aku yang
konyol, kamu yang tertib, aku yang urakan, kamu yang populer, aku yang sangat
jatuh cinta padamu, dan aku senang saat kamu memelukku atau menciumku tanda
terima kasih sudah diantar pulang atau jalan-jalan adalah hal-hal yang tidak
pernah bisa aku lupakan sampai saat ini.
“Kalau bolos terus, kapan selesainya?”
tanyamu sedikit ketus.
Ah, kamu memang suka judes kalau
menyangkut masa depan. Ya, aku bolos kuliah juga salah satu hal yang paling
kamu selidik dari kehidupanku. Padahal hal yang paling aku senangi di kampus
adalah saat-saat mengantar dan menjemputmu kuliah. Waktu itu aku merasa seperti
pangeran berkuda putih yang menjemput puteri tercintanya. Aku tidak mau kamu
sibuk dengan teman-temanmu saat kelas sudah usai. Aku ingin buru-buru
menjemputmu dan membawamu pulang ke kamarku. Apalagi jika aku melihat kamu
bercengkrama dengan beberapa teman priamu, tertawa lepas, bahkan tak jarang
saling pukul atau tinju-tinju kecil di antara gelak itu. Aku tak suka. Terus terang
saja aku cemburu.
Malam itu kamu kembali sibuk dengan
beberapa tugas. Lama-lama aku bosan dengan kegiatanmu. Kamu sudah jarang bisa
diajak jalan-jalan seperti sebelum jadwal kuliahmu penuh. Kamu terlalu banyak
mengambil SKS. Aku tak suka dengan kamu yang seperti itu meskipun banyak yang
bilang kamu adalah gadis populer dan pintar di kampus. Seharusnya aku bangga
dengan predikatmu, tapi aku bukan pria wajar yang rela melihatmu sibuk dan aku
merasa diabaikan.
Kamu terus saja menulis, membuka-buka
buku-buku tebal yang kamu sebut referensi, dan terus diam larut dalam tugas. Aku
berdehem hanya untuk sekedar mencari perhatian. Kamu bergeming. Kusulut sebatang
rokok, kuhembuskan dan kumainkan asapnya agar aku sedikit ada aktivitas.
Setelah sekitar setengah jam, kulihat
kamu membereskan kertas-kertasmu. Ah, ini waktunya kamu utuh jadi milikku,
pikirku kala itu.
Tanpa pikir panjang, kumatikan rokokku
sembarangan. Kuhampiri kamu yang sibuk memasukkan buku ke dalam tas. Kuacak-acak
rambutmu agar kamu terhibur. Kamu terlihat biasa saja. Ah, mungkin kamu
pura-pura, ingin diperlakukan lebih. Kontan saja, aku segera mengecup keningmu
dan ternyata kamu membalas lebih dari itu.
Kamu menerobos saja, menggigit bibirku. Tentu
saja aku senang. Karena aku laki-laki yang punya jiwa tak mau kalah, kubalas
ciumanmu dengan lebih ganas. Seperti biasa, kita bergelung saling sikut di
kasur. Kamu semakin beringas dan aku tambah ganas. Sayangnya, setelah dua tahun
kita bergelung, adegan terakhir selalu sebatas ciuman, tak lebih.
Pernah di sudut hatiku merasa kecewa
dengan ending yang begitu-begitu saja. Tapi aku tidak pernah
bisa memaksamu untuk menerima saluran hasratku sebagai lelaki.
“Aku sudah capek. Sepertinya tidak ada
harapan,” ujarmu tiba-tiba setelah kita sibuk tertawa dan saling lempar ciuman.
Tentu saja aku tidak paham apa maksudmu.
“Rasanya tidak ada kepastian dengan apa
yang kita jalani.” Setelahnya kamu diam dan kembali sibuk membenahi isi tasmu. Rasanya
itu hanya adegan pura-pura agar kamu tak terlihat grogi.
Kali ini aku paham, meskipun aku tidak
pernah siap dengan kejadian ini. Aku yang selalu membayangkan kita akan
selamanya bisa seperti ini, ternyata hanya dengan kata ‘capek, harapan, dan
kepastian’, aku harus benar-benar mengubur semuanya.
Bagimu semuanya simple. Setelah kamu bilang “usai saja”, kamu melenggang entah
kemana. Aku? Jelas saja aku tidak tahu akan kemana. Kita tidak pernah bertemu
lagi setelah itu, nomormu ganti, dan kamu seolah menghilang begitu saja.
Pelukan-pelukan itu, ciuman-ciuman itu,
tawa-tawa itu, sirna semua.
Tak ada lagi makan malam bersama, tak
ada lagi antar jemput kuliah, tak ada lagi pertengkaran kecil karena aku sengaja
tidak solat dan jelas aku kembali party
dan terus-menerus mabuk. Berhari-hari aku menjadi kacau. Bukan. Berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun hingga saat ini. Terhitung sudah limabelas tahun.
Aku menyimpan luka selama itu. Bisa kau
bayangkan bagaimana palsunya hidupku.
Hatiku nyeri bahkan sampai saat ini saat
menunggumu. Alunan musik menambah syahdu, tapi tidak dengan hatiku. Kuseruput
kopiku yang hampir tandas menyisakan ampas. Nasi gorengku sudah dingin dan aku
tidak lagi berselera untuk menyantapnya. Kamu belum juga datang.
Kubuka lagi pesan yang kamu kirimkan
semalam.
“Aku rindu, Julian!”
Ternyata selama belasan tahun aku masih
belum mengenalmu dengan baik. Kupikir pesan itu isyarat untuk melebur rindu. Aku
sudah tahu tempat dan waktunya, hanya sampai saat ini aku belum tahu isi
hatimu.
Kopiku tinggal ampas, nasi gorengku
sudah tak menarik, dan hatiku masih terluka.
Last July 2019, 08:35