Minggu, 23 Agustus 2020

Antara Putri dan Alis

 Antara Putri dan Alis

Oleh: Vika Varia Matovana

Percayalah bahwa apa yang telah diberikan Tuhan untuk kita adalah yang terbaik. Apalagi yang melekat di tubuh. Semuanya sudah disesuaikan dan pasti pas. Proporsional bahasa kerennya. Apa yang kita miliki juga tentu memiliki manfaat. Tuhan tidak mungkin membiarkan salah satu organ kita ‘nganggur’ gitu aja. Salah satunya alis.

Sejak dulu, saya hanya tahu kalau alis berfungsi untuk menghalau air (keringat) agar tidak masuk atau mengganggu mata. Selebihnya, saya belum menemukan fungsi lainnya. Mungkin saja saya yang kurang cari tahu.

Berbicara tentang alis, sudah jamak dibahas, apalagi untuk tren dan fashion, tentang sulam alis, tattoo alis, dan per-alis-an lainnya. Hampir semua salon yang yang saya temui di berbagai tempat, menyediakan jasa untuk ‘memperbaiki’ alis. Tentu saja alis dibuat sedemikian rupa agar nampak lebih indah dan menawan. Apalagi untuk mereka yang bekerja di ranah publik. Sebut saja artis, pegawai bank, atau profesi lain yang berhubungan dengan banyak orang. Atau juga pengajar seperti saya yang setiap hari bertemu dengan banyak makhluk?

Tapi apa jadinya kalau awam seperti saya dan beberapa orang lainnya juga ikut-ikutan sibuk dengan alis? Sering melihat tutorial tentang membentuk alis yang tebal, miring, dan menanjak. Selain itu juga sibuk dengan mencontek alis model terbaru dari selebritis idola. Mengamati dengan seksama majalah dan tabloid wanita. Gencar tanya dan posting tentang per-alis-an. Wah, pokoknya ingin ikut andil dan aktif mengikuti dunia alis.

Saya bukan yang anti terhadap fenomena alis ini. Karena kenyataannya saya juga jadi ikut-ikutan rajin beli pensil alis (warna coklat dan hitam), mencoba melukis alis sedemikian rupa, memulas eyeshadow ke alis (agar terlihat tebal natural), sampai pada akhirnya juga ikut-ikutan mencukur ujung alis agar terlihat gaul dan dianggap tahu mode. Anehnya, selama saya berjibaku dengan lukis-melukis dan sibuk membuat pola alis, saya masih belum mendapatkan bentuk yang proporsional dan simetris pada alis saya. Alis kanan terlalu tipis, akhirnya ditebalkan. Bagian kiri terlalu naik, akhirnya diikuti kenaikan sebelahnya. Pokoknya begitu seterusnya.

Jangan salah! Saat melukis alis, kita butuh konsentrasi tingkat tinggi. Tidak bisa melakukan ritual itu sambil lalu apalagi dengan metode multitasking. Wah, hasilnya bisa bikin emosi jiwa. Kita harus benar-benar dalam keadaan tenang, tanpa beban, dan lupakan sejenak masalah utang agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal. 

Kita tidak usah ngiri dengan alis bagus yang dimiliki mereka para selebritis dan kaum sosialita. Jelas saja, wong mereka memiliki tenaga ahli di bidang per-alis-an. Jadi wajar saja kalau hasilnya memuaskan. Kalau untuk ukuran kita, perempuan rumahan yang baru belajar make-up, tidak usah berkecil hati kalau ternyata alis kita terlihat semakin miring tak terkendali. Itu namanya proses belajar.

Setelah sekian lama hidup di dunia belajar melukis alis, saya memtuskan untuk rehat sejenak. Pasalnya saya ingat ada orang yang nyeletuk, “Perempuan itu aneh. Dikasih alis bagus oleh Tuhan, eh… malah dicukur habis. Ujung-ujungnya digambar lagi untuk dapat ‘memiliki’ alis. Apa nggak kurang kerjaan namanya?” Jujur saja saya tersentil dan merasa tersinggung, meskipun akhirnya tertawa juga. Setuju dengan orang tadi.

Sudah saya katakan sebelumnya bahwa saat melukis alis, kita kaum perempuan butuh ketenangan. Tapi ironinya, ketenangan itu berdampak pada banyak lini. Salah satunya anak (bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak).

Saya pernah mendapati seorang murid, sebut saja Putri (nama sebenarnya), saat diantar Ibunya ke sekolah. Ibunya yang cantik jelita dengan balutan kaos ketat, lipstick merah merona, dan tak lupa alis njelaritnya tersenyum melepas Putri sembari melambaikan tangan. Saya tersenyum pada Ibu Putri sebagai tanda hormat. Dalam hati, “Wah, bangun jam berapa ya Ibu Putri itu? Jam segini sudah dandan cantik dengan alis maksimal.”  

Lambaian dan lamunan saya terpaksa terhenti saat mendengar suara teman saya bilang, “Putri belum mandi, ya?”

Seketika saya melihat Putri yang tadi luput dari pengamatan. Putri yang datang ke sekolah dengan rambut berantakan, baju kusut, dan masih belek’an. Astaga!

Putri menjawab kalau ia sudah mandi sejak pagi dan hebatnya ia mandi sendiri.

Putri benar-benar dilatih mandiri oleh Ibunya. Itu bagus sekali untuk pembelajaran. Tapi apakah sudah sampai di situ saja tugas seorang Ibu untuk melatih kemandirian anaknya tanpa adanya koreksi, sehingga Putri masih terlihat berantakan di pagi hari sementara Ibunya sudah seperti Putri Dongeng? Hati saya sedikit ngilu mendapati kenyataan seperti itu.

Bisa jadi Ibu Putri memang butuh ketenangan saat melukis alis sehingga tidak mau diganggu oleh kebutuhan anaknya dan akhirnya Putri menjadi ‘korban’.

Entahlah.


Jumat, 03 Juli 2020

Seperti Apa Kehidupan Kita?

Selamat pagi. Weekend dengan kondisi masih pandemi, jelas tidak bisa kemana-mana.
Okay, pagi ini saya akan bercerita tentang kisah 5 perempuan. Mereka adalah manusia biasa yang mempunyai naluri dan tentu ingin dimanusiakan.
Begini, sekitar 1 minggu ini, saya tiba-tiba saya diberondong dengan begitu banyak cerita tentang kehidupan. Mari kita simak.👇
1. Sebut saja namanya Jeng. Ibu dari dua anak, pekerja, dan memiliki kehidupan bahagia dengan keluarga kecilnya. Tak ada yang kurang dalam kehidupannya. Sampai suatu ketika dia "terjebak" dalam sebuah situasi yang membuatnya akhirnya merasa terperangkap pada hubungan dengan teman kerjanya. Memang situasi yang tidak nyaman. Hubungan dengan kondisi sembunyi-sembunyi, harus atur waktu, membagi perasaan, dan tentu menambah ruang untuk tempat sakit hati. Iyalah, kan harus berbagi. Apalagi 'Si Pacar' juga milik orang lain. Manusiawi kalau ada sifat posesif dan berakhir cemburu. Seolah merasa bahwa KAMU adalah milikku. Kisah ini berjalan 2 tahun lamanya dengan banyak sekali lika-liku dan luka-luka.
Hubungan seperti ini memang tidak pernah bisa berakhir bahagia. Selanjutnya sudah bisa diterka. Mereka berpisah dalam keadaan sama-sama kecewa. Kecewa karena menyesal, menyisakan sakit hati, dan tentu saja tidak ada untungnya sama sekali.
2. Pay yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, ternyata mampu menarik hati Bejo, pemuda konglomerat, berkat paras manisnya. Tak butuh banyak cingcong, mereka memutuskan menikah di usia masih belia, sekitar 13 dan 15 tahun. Kehidupannya jangan tanya. Glamour! Mewah sekali. Mobil dan rumah tinggal pakai. Uang bulanan lancar dari mertua. Apalagi?
Ternyata, Si Bejo sudah mulai beranjak memperluas pertemanan. Bejo bergaul dengan banyak orang, jaringannya melewati bisnis-bisnis kelas atas. Pay yang polos tentu saja shock dengan pergaulan Bejo yang sekarang. Pay yang yakin jika Bejo dulu sangat mencintai kesederhanaannya, kini punya pandangan yang berbeda. Bejo sekarang lebih menyukai wanita bergincu, rambut warna-warni, dan pakaian sexy. Sementara Pay sudah disibukkan dengan 2 balita, tak sempat untuk mengubah penampilan. Pay kalah langkah mengikuti kehidupan Bejo yang semakin melesat.
Apa yang terjadi? Bejo sering membawa pulang wanita sexy, membuat ruang karaoke di rumah, dan mulai mengumpulkan banyak teman.
Pay tersingkirkan. 2 anak terabaikan.
Bejo dengan dunia barunya, Pay kembali dengan daster dan kedua orang tuanya yang sederhana.
3. Kisah Sasha dan Wiya hampir serupa. Masa pacaran yang tak terkendali, membuat keduanya harus menanggung resiko "menikah" di tengah kondisi hampir menjadi seorang ibu. Semua terpaksa dilakukan agar tidak banyak omongan di luaran. Kondisi suami yang tidak bekerja, tidak siap dalam membina rumah tangga, dan ada bayi yang harus dimanja. Tentu saja mertua tidak mungkin lepas tangan begitu saja. Tapi Sasha dan Wiya sebagai istri pasti menginginkan nafkah langsung dari tangan suami, bukan mertua. Sebagai perempuan, mereka juga ingin kehidupan normal seperti yang lain. Namun apa daya, suami jobless karena memang susah mencari kerja, sementara kebutuhan harian tidak bisa ditunda.
Apa yang terjadi? Pertengkaran terus menerus. Konflik dengan diri sendiri, suami, mertua, dan tentu tak nyaman di lingkungan. Korbannya adalah anak yang tidak tahu apa-apa.
4. Beda lagi dengan Esti. Story di media sosialnya bak sosialita.  Pelesir ke luar negeri, makan di restoran berkelas, bergaul dengan mereka berparas cantik, dan kemewahan lainnya yang tentu saja bikin nyengir netizen seperti saya. Hahahaha. Kehidupan Esti tak dapat dijangkau.
Namun apa yang terjadi? Di balik semua story WOWnya, Esti hampir didepak dari keluarga besar suami yang konglomerat karena sikap Esti yang berlebihan, gemar berfoya-foya, dan tak pandai mengelola rumah tangga. Esti  nyaris dicoret dari nama daftar warisan. Suami Esti yang terbiasa ongkang-ongkang nyatanya tak bisa mengambil alih keadaan. Wong gak punya peran.
Apa yang terjadi? Esti terus sibuk menunjukkan bahwa dia tetap bahagia dengan segala kemewahannya. Dia masih terus menebar pesona agar aura WOWnya tidak hilang begitu saja. Ia tidak mau kehilangan penggemar dengan cara terus memposting gambar dengan caption yang menarik perhatian.
Ah, cerita dari beberapa orang tentu saja membuat saya berpikir untuk mengkaji lebih lanjut tentang makna kehidupan.
Sejatinya apa sih yang kita cari dalam hidup? Apa sih yang mau kita capai dengan pasangan saat berumah tangga?
Well...
Hasil pemikiran saya dan diskusi dengan beberapa orang tentang kehidupan (rumah tangga) dapat disimpulkan bahwa:
1. Menikah haruslah dalam keadaan SADAR. Sadar di sini bukan berarti tidak mabuk atau tidak pingsan. Bukan! Sadar yang dimaksud adalah bagaimana kita bisa menyadari bahwa akan ada kehidupan selanjutnya yang harus dipertanggungjawabkan, baik untuk diri sendiri, pasangan, anak, dan keluarga besar. Jika menikah hanya karena terburu-buru (nafsu), berarti kalian belum SADAR. Harus segera ke dokter untuk cek kewarasan.
2. Mengimbangi pasangan dengan fondasi yang kuat.
Pernah saya tulis di story dan jadi prinsip saya bahwa,"Carilah pasangan yang cerdas, karena akan menentukan generasimu. Jika pasanganmu lebih cerdas, saatnya kamu banyak belajar dan intropeksi diri agar bisa mengimbangi."
Mengimbangi bisa dari banyak hal. Intelektualitas, kepribadian, finansial, dan menyeimbangkan sistem dalam diri (ego dan pemikiran). Jika salah satu masih ada yang timpang, perbaiki. Saya pernah menulis di blog dengan judul "Karena Cinta Nggak Ada Di Piring" mungkin bisa dibaca lagi.
3. Menciptakan bahagia.
Bahagia itu kita yang ciptakan. Jika hati dan pikiran masih saja sibuk dengan banyak hal remeh-temeh, tentu akan menguras tenaga. Ayolah mulai membenahi diri. Jika point 1 dan 2 merasa sudah ada miss, lebih baik diperbarui dengan cara berbicara dari hati ke hati dengan pasangan. Jika kita dan pasangan bahagia, tentu akan menular pada mereka yang ada di sekitar kita.
Saya tidak ada niat menggurui. 3 point di atas adalah murni dari pemikiran, renungan, serta diskusi dengan suami saya dan beberapa teman . Diikuti monggo, tidak diikuti lebih baik dibaca lagi, deh! Hahahaha

Senin, 29 Juni 2020

Bertempurlah dengan (Minimal) Amunisi yang Sama

Pagi ini saya kembali menulis karena memang sedang terusik oleh suatu hal. Tiba-tiba saya mendapat kabar bahwa salah satu teman yang pernah saya tulis kehidupannya di blog, jadi sorotan negatif. Intinya, karena tulisan saya terdahulu (tahun  2012) 'seolah-olah'membuka aibnya dan dijadikan senjata oleh orang yang tidak menyukainya.
Oke. Saya akui kebanyakan tulisan saya lebih bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan banyak sekali teman yang curhat dan kisahnya siap untuk dipublikasikan. Saya menyamarkan nama tokoh juga karena permintaan. Selama yang saya tulis berbentuk hiburan, motivasi, dan kejujuran, biasanya saya tidak pernah pakai inisial atau alias. Saya modelnya terbuka dan terkesan ekstrovert.
Begini, kisah tulisan saya sudah terjadi 8 tahun lalu dan seharusnya tidak perlu diungkit kembali karena kehidupan manusia terus bermutasi, bahkan bisa jadi banyak yang beresolusi dan sudah tidak sama lagi dengan kemarin. Memang, tulisan itu abadi. Seberapa lama rentang waktu, tulisan itu adalah bukti sejarah tak terbantah. Nah, tugas kita sebagai manusia yang sudah melewati banyak hal, ada baiknya bisa melihat sebuah kisah sejarah dari perspektif lain.  Bisa dijadikan pelajaran, peringatan, atau bahkan tetap dijadikan hiburan. Baper tentu saja boleh. Tapi kalau diulas hanya untuk saling menyakiti, sepertinya juga kurang bermanfaat baik dari segi fisik maupun kejiwaan. Telaahlah dengan baik.
Jadi begini, jika kamu merasa dengan membaca sejarah, kamu punya amunisi untuk mengolok dan menyemai kebencian, berarti senjatamu tidaklah pamungkas. Kamu hanya menggunakan opini dan pemikiran orang lain. Kamu hanya 'meminjam' kekuatan orang hanya untuk memuaskan birahi dan nafsumu. Kamu sebenarnya lemah dan tidak punya kekuatan sendiri jika terus menerus mengolok, mencaci, dan terus menguras emosi dari amunisi pinjaman itu.
Berperanglah secara elegan. Gunakan kekuatanmu sendiri. Tunjukkan amunisi terhebatmu.
Jika kamu gunakan sebuah tulisan orang lain sebagai senjata, serang balik musuhmu dengan sebuah tulisan juga. Menuliskan dengan cerdas. Toreh sebuah serangan dari guratan tanganmu sendiri.Buat opini dengan gaya kontradiktif. Lakukan serangan mematahkan agar musuhmu merasa terancam dengan tulisanmu. Bukan justru dengan berkoar-koar, menyebar droplet. Bisa jadi penyakit untuk sekitar. Jauh lebih berbahaya.
Jika sekarang rivalmu sedang melenggang dengan manisnya, serang dia dengan prestasimu yang tak terkalahkan. Buatlah gebrakan sejuta tepuk tangan untuk sebuah karyamu yang layak dipuji banyak orang. Tunjukkan dirimu di atas panggung kemewahan dengan berjuta sanjung atas masterpiece yang melambungkan namamu. Itu adalah cara balas dendam yang heroik, fantastis, dan musuhmu akan tersungkur tak berdaya.
Kalau sampai akhir 2020 kamu masih berkutat dengan perang mulut dan saling sindir, kamu tak ada bedanya dengan makhluk 'pra' yang tidak tahu apa-apa.