Tak
Semanis Itu
Namaku Gendis. Biasanya dipanggil
Ninis. Entah dari mana pangkalnya hingga D berganti N secara masif. Mungkin karena
aku terlihat manis, mereka spontan memanggilku Nis dan diulangnya menjadi
Ninis. Kalau dilihat-lihat, memang aku berparas manis. Jadi tak salah penilaian
orang terhadapku. Bukankah yang menilai diri kita adalah orang lain? Bukankah tugas
kita memang membuat bahagia orang lain? Ya, memang begitu alurnya.
Aku suka dipuji dan
tentu saja orang pertama yang selalu memujiku berkali-kali tiada henti adalah
Ayahku. Ibuku tak pernah melakukan itu karena kata ayah, ibu sudah berpulang. Entah
pulang kemana. Saat itu aku kelas dua SD dan memang tidak tahu maksud dari ‘berpulang’
itu.
Setiap pagi ayah
selalu menyisir rambutku dengan rapi ketika hendak berangkat sekolah. Teman-temanku
banyak yang menaruh iri karena ayah mereka tidak ada yang peduli dengan kondisi
rambut mereka. Entah banyak kutu, pirang, atau tak pernah potong rambut sekali
pun. Jadi tak usah heran jika aku selalu terlihat rapi dan bersih dari ujung
rambut hingga ujung kaki.
Banyak teman-teman
lelakiku yang usil menggoda. Tapi aku tidak selemah itu. Aku adalah perempuan
tercerewet di kelas. Aku berani memukul perut Johan saat ia ketahuan mengintip
rok Mita. Johan harus menerima rintihan akibat perbuatannya. Belum lagi aku
harus menjewer telingan Agus dan Priyo ketika mereka menarik kuncir rambut
Sedayu. Ya, Sedayu yang gampang menangis itu adalah sasaran empuk anak-anak
usil yang tidak tahu malu. Tapi untung saja aku sigap membela Sedayu sebelum
seluruh rambut Sedayu benar-benar rontok. Tidak bagus juga untuk Sedayu yang
cantik jika esok hari harus sekolah dengan kepala botak hanya karena beberapa
bagian rambutnya dipotong dengan paksa.
Aku adalah siswa
paling rewel jika ada anak yang susah mengerjakan bilangan bulat atau pecahan. Apalagi
pelajaran itu sudah diulang berpuluh kali oleh guru kami, Bu As. Kasihan Bu As
jika siswanya tidak pernah nyambung saat diberi pelajaran. Aku yang harus teriak-teriak
menenangkan teman-teman satu kelas saat jam kosong. Sampai SD kelas enam
jabatanku berangkap-rangkap. Ketua kelas iya, sekretaris iya, bendahara iya. Atau
bahkan tanpa sepengetahuanku, aku sudah ‘dilantik’ menjadi Menteri Pertahanan
dan Keamanan kelas oleh Bu As.
Saat usiaku memasuki
dua belas tahun, SD kelas enam kala itu, ayah semakin perhatian terhadapku. Aku
dibelikannya hand and body lotion dengan aroma mawar. Wah,
harum sekai. Aku jadi suka mengoleskannya hampir di semua bagian tubuhku. Karena
saat kubaca cara pakainya, lotion itu memang digunakan untuk tangan
dan badan. Jadi aku tidak salah mengaplikasikannya, kan?
Sejak saat itu,
semakin banyak mata yang terpesona melihatku. Belum lagi aku semakin gemar
bersolek dengan membeli banyak krim untuk wajah, beberapa bedak, dan pernah
mencoba membeli eyeshadow. Tak perlu
berburuk sangka, sampai aku SMA, eyeshadow
itu hanya kupakai sekali saja, itu pun saat baru membeli kemudian kuhapus lagi
karena kulihat mataku menjadi aneh, seperti bengkak.
Umurku sudah
empatbelas tahun saat aku memulainya. Ya, aku memulai sebuah ritual yang awalnya
ganjil tapi lambat laun menjadi kebiasaan. Hampir setiap malam, aku mengendap
ke kamar gelap dan di sana sudah menunggu ayahku. Ayah bilang, dengan melakukan
ritual itu, pesonaku semakin terpancar. Aku yang memang senang akan pujian
tentu saja manut. Meskipun mulanya aku merasa tubuhku bau dan lembab entah
karena basah atau hanya perasaanku saja.
Malam pertama
melakukannya, aku serba salah dan merasa sekujur tubuhku lengket. Malam-malam
berikutnya tugasku adalah mendesah dan menggelinjang. Lambat laun aku sudah
bisa mengikuti ritme dan alurnya.
Namun sejak itu juga
aku merasa ada yang berubah dalam diriku. Aku lebih pendiam. Predikatku sebagai
siswa tercerewet menguap. Orang-orang terlihat maklum saja melihat perubahanku.
Mereka bilang aku sudah beranjak remaja, gadis desa, dan memang sudah bisa
mengontrol emosi. Itu pandangan mereka. Tapi terus terang saja bukan itu yang
aku rasakan, walaupun aku hanya mengangguk manis saat banyak orang memuji
perubahanku yang terlihat lebih kalem.
Tapi tidak pada
bulan-bulan berikutnya. Banyak mata melihatku dengan aneh. Tak jarang yang
mencibir hingga terang-terangan bertanya kepadaku. Pertanyaan-pertanyaan yang menganggu
terus saja dilontarkan oleh mulut-mulut usil kurang kerjaan. Mereka yang
awalnya memuji sekarang justru berbalik mencela. Teman-teman baikku yang dulu
selalu kubela, saat ini banyak yang menghindar dengan berbagai alasan.
“Nis, bapakmu kok
nggak kawin lagi?” atau “Nis, kok gendutan?” atau yang lebih langsung tepat
sasaran, “Hamil ya, Nis?” Diam adalah pilihan saat banyak terlontar berbagai
tanya yang justru memang tidak bisa kujawab. Sudah kubilang, hidup ini tugasnya
adalah untuk memenuhi kebutuhan orang lain baik itu melayani pertanyaan atau
sajian penampilan. Seperti saat ini aku yang terus diserang oleh hal yang
sebenarnya menguliti diriku sendiri. Ironi sekali, bukan?
Memang waktu yang
akan menjawab. Saat banyak cibiran datang, saat itu juga aku merasa ada
perubahan dalam tubuhku. Aku gampang sakit-sakitan dan masuk angin. Badanku sering
demam dan seringkali aku muntah tanpa sebab. Kepala mendadak pusing seperti
kekurangan darah. Ayah membawaku ke bidan terdekat. Hasilnya tentu sudah bisa
kalian terka.
Tak butuh waktu
lama, aku dan Ayahku memutuskan menghindari tatapan sinis banyak orang dengan
segera pergi dari tempat tinggal kami. Biarkan mereka sibuk berceloteh asal ayahku
tetap menjagaku.
Sekolahku putus
begitu saja. Aku tidak memikirkan banyak hal kecuali kesehatanku dan
kebersamaan dengan ayahku. Bagaimana dengan ritual kami? Kami terus
melakukannya. Entah apa yang ada di benak kami sehingga kami masih saja
bergelung di kamar gelap hingga bertahun-tahun lamanya. Anehnya, aku tidak
pernah membenci ayahku. Di dunia ini hanya ayah yang menjaga dan melindungiku
meskipun...ah!
Lagi-lagi waktu
memainkan perannya. Ayahku tiba-tiba ambruk setelah keluar dari kamar mandi. Detik
itu juga Ayahku tak bergerak lagi. Bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah? Tak
bisa kuceritakan.
Aku memutuskan pergi
ke kota berkat ajakan seorang kenalan ayah. Di sana aku menumpang hidup sampai
waktu itu tiba. Kenalan Ayah dengan seenak udelnya berkata, “Kamu bekerja saja
dengan baik. Layani mereka dengan sopan. Biar dia kubawa, tak usah kau tanya
lagi.”
Tak pernah lagi aku
secerewet dulu. Aku bungkam dan memilih
menuruti petuah kenalan ayah karena kupikir itulah yang terbaik.
Namaku Gendis. Saat ini
aku tidak lagi dipanggil Ninis. Bersamaku sebatang rokok menyala dan melekat
baju dengan kain kurang bahan.