Senin, 29 Juni 2020

Bertempurlah dengan (Minimal) Amunisi yang Sama

Pagi ini saya kembali menulis karena memang sedang terusik oleh suatu hal. Tiba-tiba saya mendapat kabar bahwa salah satu teman yang pernah saya tulis kehidupannya di blog, jadi sorotan negatif. Intinya, karena tulisan saya terdahulu (tahun  2012) 'seolah-olah'membuka aibnya dan dijadikan senjata oleh orang yang tidak menyukainya.
Oke. Saya akui kebanyakan tulisan saya lebih bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan banyak sekali teman yang curhat dan kisahnya siap untuk dipublikasikan. Saya menyamarkan nama tokoh juga karena permintaan. Selama yang saya tulis berbentuk hiburan, motivasi, dan kejujuran, biasanya saya tidak pernah pakai inisial atau alias. Saya modelnya terbuka dan terkesan ekstrovert.
Begini, kisah tulisan saya sudah terjadi 8 tahun lalu dan seharusnya tidak perlu diungkit kembali karena kehidupan manusia terus bermutasi, bahkan bisa jadi banyak yang beresolusi dan sudah tidak sama lagi dengan kemarin. Memang, tulisan itu abadi. Seberapa lama rentang waktu, tulisan itu adalah bukti sejarah tak terbantah. Nah, tugas kita sebagai manusia yang sudah melewati banyak hal, ada baiknya bisa melihat sebuah kisah sejarah dari perspektif lain.  Bisa dijadikan pelajaran, peringatan, atau bahkan tetap dijadikan hiburan. Baper tentu saja boleh. Tapi kalau diulas hanya untuk saling menyakiti, sepertinya juga kurang bermanfaat baik dari segi fisik maupun kejiwaan. Telaahlah dengan baik.
Jadi begini, jika kamu merasa dengan membaca sejarah, kamu punya amunisi untuk mengolok dan menyemai kebencian, berarti senjatamu tidaklah pamungkas. Kamu hanya menggunakan opini dan pemikiran orang lain. Kamu hanya 'meminjam' kekuatan orang hanya untuk memuaskan birahi dan nafsumu. Kamu sebenarnya lemah dan tidak punya kekuatan sendiri jika terus menerus mengolok, mencaci, dan terus menguras emosi dari amunisi pinjaman itu.
Berperanglah secara elegan. Gunakan kekuatanmu sendiri. Tunjukkan amunisi terhebatmu.
Jika kamu gunakan sebuah tulisan orang lain sebagai senjata, serang balik musuhmu dengan sebuah tulisan juga. Menuliskan dengan cerdas. Toreh sebuah serangan dari guratan tanganmu sendiri.Buat opini dengan gaya kontradiktif. Lakukan serangan mematahkan agar musuhmu merasa terancam dengan tulisanmu. Bukan justru dengan berkoar-koar, menyebar droplet. Bisa jadi penyakit untuk sekitar. Jauh lebih berbahaya.
Jika sekarang rivalmu sedang melenggang dengan manisnya, serang dia dengan prestasimu yang tak terkalahkan. Buatlah gebrakan sejuta tepuk tangan untuk sebuah karyamu yang layak dipuji banyak orang. Tunjukkan dirimu di atas panggung kemewahan dengan berjuta sanjung atas masterpiece yang melambungkan namamu. Itu adalah cara balas dendam yang heroik, fantastis, dan musuhmu akan tersungkur tak berdaya.
Kalau sampai akhir 2020 kamu masih berkutat dengan perang mulut dan saling sindir, kamu tak ada bedanya dengan makhluk 'pra' yang tidak tahu apa-apa.