Selasa, 13 Juni 2017

Mewariskan Cita-cita

Beberapa waktu terakhir, sedangan viral-viralnya istilah 'warisan'. Pro kontra dengan satu kata itu, karena sempat booming tulisan dari anak SMA, Afi Nihaya, asal Banyuwangi (satu kota kelahiran dengan saya). Tapi kali ini saya tidak akan membahas 'warisan' yang bersifat sensitif seperti apa yang dilakukan Afi. Saya tidak se-berani dia, saya masih mengalami ketakukan jika akan menulis sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal 'menyentuh', dan saya takut tulisan saya jadi boomerang bagi saya dan keluarga. Jadi, saya memilih tulisan yang ringan dan aman.
Warisan yang saya maksud disini adalah tentang cita-cita kami (trah keluarga saya) secara turun-temurun. Sebenarnya secara inti dan singkat, hal ini pernah saya utarakan saat update status di fesbuk. Tapi sekarang saya memang sedang ingin menulisnya lagi, versi panjang dan ada keterangan. Haha
Begini..., saya sangat bangga pernah menjadi bagian salah satu radio yang cukup terkenal di Jember (SokaRadio) sebagai penyiar radio selama 3,5 tahun. Apa sebab?
1. Saya merasa passion saya ada disana. Saya yang suka ngomong, ngobrol, rumpi, dan cerita ngalor-ngidul, akhirnya punya wadah untuk menampungnya. Selain itu, kesukaan dan kegemaran saya dengan dunia musik (meskipun saya tidak bergelut langsung dengan dunia musik), saya menikmati hari-hari yang penuh dengan lagu-lagu.
2. Saya mendapat pekerjaan yang santai dan tidak ada tekanan. Hanya butuh kreativitas dan banyak baca untuk menambah knowledge. Itu bisa saya lakukan sambil jalan dan dibantu oleh orang-orang yang luar biasa.
3. Saya mendapat gaji dan pengalaman yang luar biasa. Gaji saya dapat dari siaran secara resmi (di box siar), sedangkan pengalaman lain ternyata membawa berkah berupa uang, pertemanan, dan kegiatan yang menakjubkan. Itu yang belum tentu bisa diperoleh oleh orang lain. Atau bahkan belum tentu bisa saya temukan di tempat lain. Saya bisa memenuhi kebutuhan saya sendiri, bahkan bisa memberi sedikit untuk keluarga.
Ternyata oh ternyata, menjadi seorang penyiar radio adalah cita-cita yang sangat diimpikan oleh Ibu saya. Beliau ingin sekali menjadi announcer dan mempunyai banyak fans seperti penyiar kesayangannya. Oleh karena itu, langkah pertama yang dilakukan Ibu saya adalah dengan cara mengirim salam melalui atensi di salah satu radio di Banyuwangi. Dengan seperti itu, beliau jadi banyak kenalan dan punya sahabat pena. Nah, apa yang dilakukan oleh Ibu saya ternyata menular pada saya. Sejak SD kelas 6, saya sudah suka kirim salam by phone ke beberapa radio. Hasilnya sama dengan yang diperoleh oleh Ibu saya, banyak kenalan.
Ternyata lagi, pencapaian Ibu saya hanya sebatas kirim salam saja. Tidak sampai masuk box siar dan jadi penyiar. Beliau akhirnya hanya memendam dan pasrah saja sebagai fans seperti orang kebanyakan. Dan tidak ada yang pernah menyangka, keinginannya ternyata bisa saja wujudkan. Secara tidak langsung cita-cita itu sudah 'diwariskan' ke saya.
Nah, sekarang giliran saya. Selain suka sebagai penyiar, saya sangat ingin menjadi anchor dan penulis terkenal. Tidak tahu mengapa, dua profesi itu sangat menyita sebagian hati dan pikiran saya. Sebab, menjadi anchor dan penulis menjadi terlihat sangat smart. Walaupun untuk menjadi keduanya juga memang harus benar-benar pintar dan tahu banyak hal. Nah, senang sekali bukan kalau orang lain menjadi percaya dengan apa yang kita ucapkan dan bisa terinspirasi dengan apa yang kita tulis? Itu yang ingin saya wujudkan.
Ternyata, saya malah jadi seorang pengajar (seperti yang sudah saya jabarkan di tulisan sebelumnya). Meskipun dimedio 2016-2017 saya sangat beruntung sekali. Saya sudah menghasilkan tulisan-tulisan. Cerpen anak, artikel, puisi, dan novel. Cerpen anak dan novel sudah dibukukan. Artikel sudah diterbitkan. Puisi sedang proses karena memang antologi. Itu adalah kemajuan yang luar biasa bagi saya.
Oke, satu tujuan yang menyelip di hati saya sudah tercapai. Namun saya harus terus banyak belajar dan berjuang. Artinya, saya sangat ingin tulisan saya bisa menginspirasi dan mempengaruhi banyak orang. Itu yang harus saya kejar! Haha
Nah, satu lagi yang belum tercapai. ANCHOR! Usia sudah kepala 3, mana ada lowongan jadi pembaca berita? Lagipula saya tinggal amat jauh dari Ibukota. Aarrgh....

Nampaknya saya harus melakukan apa yang sudah dilakukan oleh Ibu saya. MEWARISKAN CITA-CITA. Doa dan harapan saya, saya ingin anak, penerus, dan generasi saya merealisasikan apa yang belum terwujud dari mimpi saya. Memang terkesan memaksa. Tapi menurut saya, tak apalah 'memaksa' penerus saya untuk menjadi yang lebih baik. Meskipun nantinya, pilihan tergantung di tangan mereka. Saya kan hanya berharap. Semoga saja terwujud dan itu tentu akan membuat saya senang.
Mereka juga boleh memilih sebagai penulis, tentunya dengan nama besar yang harus lebih melesat dari saya. Memaksa lagi? Egois ya saya? Sebagai pembelaan, untuk saat ini saya mengarahkan saja. Terutama menstimulus anak-anak saya dengan pengetahuan melalui bercerita, membaca, menyanyi, bertanya, dan bercanda. Mungkin itu langkah awal.
Daaan....izinkan saya untuk terus berdoa dan berusaha semoga apa yang saya cita-citakan bisa dilanjutkan oleh anak cucu saya. Amin.

Senin, 12 Juni 2017

Terjebak di Dunia Anak


Saat saya masih kecil, saya ingat betul, bahwa saya sangat menyukai hal yang bersifat ramai atau huru-hara. Namun dalam hal positif. Artinya, saya senang dengan suasana yang ceria, banyak orang, dan saya seringkali bertingkah aneh untuk menghidupkan suasana. Itu saya lakukan karena saat itu saya masih anak tunggal. ‘Konser tunggal’ yang saya adakan tiap malam, difasilitasi dengan radio kecil yang menyiarkan lagu-lagu dangdut dan dengan mengundang beberapa teman yang saya paksa untuk menonton atraksi saya. Cara itu ampuh untuk membuat saya ‘terkenal’ kala itu. Banyak yang bilang saya berani, percaya diri, dan pintar. Saya menikmati pujian itu. Hahaha...

Beranjak remaja, tepatnya SMP-SMA, saya mulai mengaktualisasi diri dengan cara menjalin pertemanan dengan banyak orang. Mulai dari supir angkot, teman satu sekolah, kakak kelas, adik kelas, siswa lain sekolah, temannya teman yang beda daerah, bahkan penjaga wartel juga saya ajak berteman. Hasilnya, semakin banyak orang yang mengenal saya. Saya benar-benar menikmati moment itu. Saya banyak pengalaman, banyak tahu, dan banyak belajar.

Saat kuliah, saya melakukan cara yang sama untuk menjaring koneksi. Kakak tingkat, adik tingakt, teman lain jurusan, lain fakultas, temen kos dari temannya teman, bahkan beberapa teman dari teman kerja juga wajib saya kenal. Hasilnya, banyak job yang saya dapat saat saya menjadi penyiar radio dan memudahkan beberapa urusan yang saya temui. Saya ‘terkenal’ waktu itu. Anggaplah ‘artis’ lokal. Ah, saya semakin menikmati masa dimana saya merasa berjaya.

Namun ada satu hal yang tanpa saya sadari dalam hidup saya, sampai Ibu saya berkata, “Mbak, Mbak kan calon guru. Pantes aja open (peduli-Jawa) sama anak kecil. Harus bias jadi contoh juga.”

Ini yang belum saya ceritakan. Saya sangat menyukai anak-anak. Terutama yang usia sekolah. Saat saya masih kelas 5 SD, saya sudah membuka les Bahasa Inggris untuk anak SMP yang saat itu diberi imbalan Rp.50,- per anak di setiap pertemuan. Banyak sekali ‘murid’ saya waktu itu. Saat saya libur kuliah pun, diwaktu senggang saya sempatkan untuk ikut mengajar di SD dan SMP. Sepulang sekolah, saya memberi les gratis pada anak SD. Saya senang bisa berbagi dan mengajari orang dalam banyak hal, terutama tentang pelajaran. Hal ini dikarenakan, saya juga senang berguru pada orang lain saat saya tidak mengerti akan sesuatu.

Setelah saya bekerja, nyatanya saya memang jodoh dengan dunia anak dan dunia pendidikan. Saya mengajar di SD, dimana saya senang sekali memberi mereka sesuatu yang baru, yang belum pernah mereka tahu, dan membuat mereka takjub akan penjelasan yang keluar dari mulut saya. Membahagiakan sekali menjadi pusat perhatian seperti ini.

Lagi-lagi saya tidak bisa jauh dari dunia anak. Rasanya, keberuntungan saya memang tidak lepas dari kata ANAK. Saya mendapat pekerjaan tetap saya, saat hamil 4 bulan anak pertama. Jauh setelahnya, kira-kira tiga tahun kemudian, saya mendapat keberuntungan berangkat ke Bali dalam acara Teacher Supercamp 2016 yang diadakan oleh KPK berkat Cerpen Anak yang saya buat. Beberapa bulan berselang, saya berhasil menjadi juara 3 menulis cerpen anak di salah satu penggiat literasi.

Padahal, sebelum-sebelumnya sering sekali saya menulis artikel yang serius dan dewasa untuk saya ikutkan lomba. Hasilnya, ternyata belum bisa membuat saya menjadi pusat perhatian. Mentok di meja redaksi dan juri tanpa membawa hasil sebagai pemenang. Mungkin dikarenakan artikel atau opini yang saya bahas itu, jauh dari ANAK.

Semakin kesini, saya sadar, mungkin saja saya memang benar-benar tidak bisa lepas dari kata ANAK. Dimulai dari kebiasaan saya yang suka mengajar, hobi saya yang suka menyanyi dan bercerita, hingga keberuntungan saya yang selalu berkaitan dengan anak. Saya merasa nyaman jika berbicara tentang tumbuh kembang mereka, anak-anak.

Saya mencoba banyak belajar mengenai apa dan bagaimana dunia anak sebenarnya. Hal ini juga didukung oleh suami saya yang cenderung lebih concern dan peka terhadap dunia anak. Saya baca banyak buku dan artikel tentang anak, meskipun buku yang saya baca belum sebanyak para pakar yang jauh mendahului saya. Saya akui saya masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, saya harus banyak belajar dan cari tahu.

Dari banyak hal yang saya lakukan dan sudah sedikit banyak bersinggungan dengan dunia anak, apakah sudah bisa dijadikan tolak ukur bahwa saya adalah seorang Ibu dan guru yang baik? TIDAK. Saya jawab dengan tegas. Saya belum sesempurna itu.

Saya masih sering marah, jengkel, dan kadang abai terhadap anak saya dan murid saya di sekolah. Apa yang menyebabkan saya emosi? Saya akui, saya manusia biasa dan bahkan kadang kurang kontrol emosi. Tidak jarang cara saya mendisiplinkan mereka (anak saya dan murid saya) masih menggunakan metode ‘kuno’. Seperti apa metode ‘kuno’ itu? Marah, mengancam, dan berkata dengan nada tinggi.

Awalnya saya berpikir cara itu bisa membuat mereka takut dan akhirnya menurut. Ternyata saya sadari bahwa saya salah kaprah dan salah jalan. Saya sudah memutus ‘jembatan’ yang ada di otak mereka dan ternyata membutuhkan waktu lama untuk menyambung 'jembatan' itu lagi.

Ini jadi bahan refleksi bagi saya. Metode yang saya gunakan perlahan saya ubah, disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Metode ‘kuno’ pelan-pelan saya tinggalkan. Emosi saya kontrol sedemikian rupa agar mereka mampu membangun jembatan lain di otak mereka. Persaingan di masa depan semakin menantang. Akan menjadi tanggung jawab saya dan menjadikan penyesalan seumur hidup jika mereka tidak mampu bersaing hanya karena saya sudah merusak jembatan di otak mereka. Itu akan membuat saya merasa berdosa sekali.

Kali ini, saya merasa memang saya tidak bisa jauh dari mereka. Hidup dan keberuntungan saya diiringi oleh gelak tawa dan keceriaan mereka. Disini hidup saya, mendedikasikan diri untuk anak-anak yang luar biasa. Harus saya akui, bahwa saya memang terjebak di dunia anak.