Senin, 12 Juni 2017

Terjebak di Dunia Anak


Saat saya masih kecil, saya ingat betul, bahwa saya sangat menyukai hal yang bersifat ramai atau huru-hara. Namun dalam hal positif. Artinya, saya senang dengan suasana yang ceria, banyak orang, dan saya seringkali bertingkah aneh untuk menghidupkan suasana. Itu saya lakukan karena saat itu saya masih anak tunggal. ‘Konser tunggal’ yang saya adakan tiap malam, difasilitasi dengan radio kecil yang menyiarkan lagu-lagu dangdut dan dengan mengundang beberapa teman yang saya paksa untuk menonton atraksi saya. Cara itu ampuh untuk membuat saya ‘terkenal’ kala itu. Banyak yang bilang saya berani, percaya diri, dan pintar. Saya menikmati pujian itu. Hahaha...

Beranjak remaja, tepatnya SMP-SMA, saya mulai mengaktualisasi diri dengan cara menjalin pertemanan dengan banyak orang. Mulai dari supir angkot, teman satu sekolah, kakak kelas, adik kelas, siswa lain sekolah, temannya teman yang beda daerah, bahkan penjaga wartel juga saya ajak berteman. Hasilnya, semakin banyak orang yang mengenal saya. Saya benar-benar menikmati moment itu. Saya banyak pengalaman, banyak tahu, dan banyak belajar.

Saat kuliah, saya melakukan cara yang sama untuk menjaring koneksi. Kakak tingkat, adik tingakt, teman lain jurusan, lain fakultas, temen kos dari temannya teman, bahkan beberapa teman dari teman kerja juga wajib saya kenal. Hasilnya, banyak job yang saya dapat saat saya menjadi penyiar radio dan memudahkan beberapa urusan yang saya temui. Saya ‘terkenal’ waktu itu. Anggaplah ‘artis’ lokal. Ah, saya semakin menikmati masa dimana saya merasa berjaya.

Namun ada satu hal yang tanpa saya sadari dalam hidup saya, sampai Ibu saya berkata, “Mbak, Mbak kan calon guru. Pantes aja open (peduli-Jawa) sama anak kecil. Harus bias jadi contoh juga.”

Ini yang belum saya ceritakan. Saya sangat menyukai anak-anak. Terutama yang usia sekolah. Saat saya masih kelas 5 SD, saya sudah membuka les Bahasa Inggris untuk anak SMP yang saat itu diberi imbalan Rp.50,- per anak di setiap pertemuan. Banyak sekali ‘murid’ saya waktu itu. Saat saya libur kuliah pun, diwaktu senggang saya sempatkan untuk ikut mengajar di SD dan SMP. Sepulang sekolah, saya memberi les gratis pada anak SD. Saya senang bisa berbagi dan mengajari orang dalam banyak hal, terutama tentang pelajaran. Hal ini dikarenakan, saya juga senang berguru pada orang lain saat saya tidak mengerti akan sesuatu.

Setelah saya bekerja, nyatanya saya memang jodoh dengan dunia anak dan dunia pendidikan. Saya mengajar di SD, dimana saya senang sekali memberi mereka sesuatu yang baru, yang belum pernah mereka tahu, dan membuat mereka takjub akan penjelasan yang keluar dari mulut saya. Membahagiakan sekali menjadi pusat perhatian seperti ini.

Lagi-lagi saya tidak bisa jauh dari dunia anak. Rasanya, keberuntungan saya memang tidak lepas dari kata ANAK. Saya mendapat pekerjaan tetap saya, saat hamil 4 bulan anak pertama. Jauh setelahnya, kira-kira tiga tahun kemudian, saya mendapat keberuntungan berangkat ke Bali dalam acara Teacher Supercamp 2016 yang diadakan oleh KPK berkat Cerpen Anak yang saya buat. Beberapa bulan berselang, saya berhasil menjadi juara 3 menulis cerpen anak di salah satu penggiat literasi.

Padahal, sebelum-sebelumnya sering sekali saya menulis artikel yang serius dan dewasa untuk saya ikutkan lomba. Hasilnya, ternyata belum bisa membuat saya menjadi pusat perhatian. Mentok di meja redaksi dan juri tanpa membawa hasil sebagai pemenang. Mungkin dikarenakan artikel atau opini yang saya bahas itu, jauh dari ANAK.

Semakin kesini, saya sadar, mungkin saja saya memang benar-benar tidak bisa lepas dari kata ANAK. Dimulai dari kebiasaan saya yang suka mengajar, hobi saya yang suka menyanyi dan bercerita, hingga keberuntungan saya yang selalu berkaitan dengan anak. Saya merasa nyaman jika berbicara tentang tumbuh kembang mereka, anak-anak.

Saya mencoba banyak belajar mengenai apa dan bagaimana dunia anak sebenarnya. Hal ini juga didukung oleh suami saya yang cenderung lebih concern dan peka terhadap dunia anak. Saya baca banyak buku dan artikel tentang anak, meskipun buku yang saya baca belum sebanyak para pakar yang jauh mendahului saya. Saya akui saya masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, saya harus banyak belajar dan cari tahu.

Dari banyak hal yang saya lakukan dan sudah sedikit banyak bersinggungan dengan dunia anak, apakah sudah bisa dijadikan tolak ukur bahwa saya adalah seorang Ibu dan guru yang baik? TIDAK. Saya jawab dengan tegas. Saya belum sesempurna itu.

Saya masih sering marah, jengkel, dan kadang abai terhadap anak saya dan murid saya di sekolah. Apa yang menyebabkan saya emosi? Saya akui, saya manusia biasa dan bahkan kadang kurang kontrol emosi. Tidak jarang cara saya mendisiplinkan mereka (anak saya dan murid saya) masih menggunakan metode ‘kuno’. Seperti apa metode ‘kuno’ itu? Marah, mengancam, dan berkata dengan nada tinggi.

Awalnya saya berpikir cara itu bisa membuat mereka takut dan akhirnya menurut. Ternyata saya sadari bahwa saya salah kaprah dan salah jalan. Saya sudah memutus ‘jembatan’ yang ada di otak mereka dan ternyata membutuhkan waktu lama untuk menyambung 'jembatan' itu lagi.

Ini jadi bahan refleksi bagi saya. Metode yang saya gunakan perlahan saya ubah, disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Metode ‘kuno’ pelan-pelan saya tinggalkan. Emosi saya kontrol sedemikian rupa agar mereka mampu membangun jembatan lain di otak mereka. Persaingan di masa depan semakin menantang. Akan menjadi tanggung jawab saya dan menjadikan penyesalan seumur hidup jika mereka tidak mampu bersaing hanya karena saya sudah merusak jembatan di otak mereka. Itu akan membuat saya merasa berdosa sekali.

Kali ini, saya merasa memang saya tidak bisa jauh dari mereka. Hidup dan keberuntungan saya diiringi oleh gelak tawa dan keceriaan mereka. Disini hidup saya, mendedikasikan diri untuk anak-anak yang luar biasa. Harus saya akui, bahwa saya memang terjebak di dunia anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar