Sabtu, 22 Juli 2023

Keriuhan Anak Jamak

 "Ini anaknya semua, Mbak?"



Sering ditanya gitu? Sering. Sering banget. Tiga bocah nginthil di belakang, jalan serempak satu tujuan. Berasa diekori setelah dua-tiga tahun lalu jadi induk Kanguru. Ya, jarak kelahiran yang terbilang cukup dekat, memberi kesan bahwa Bu Madame terlihat tua karena kuantitas anak. Tiga artinya banyak, berefek pada tiga artinya: tua. Padahal kan masih lincah, enerjik, dan beringas. Lipenstip masih merona (tanpa jelarit alis, karena tak bisa beralisan), tak lupa oleskan eyeliner hitam pekat dengan kesan ketegasan.
Dibuntuti krucil-krucil yang seperti pasukan baris-berbaris dan sering Bu Madame berseloroh bahwa kami kemana-mana harus sekompi. Tapi memang benar itu adanya. Ribet gak sih bawa pasukan?
Owh, jelas! Bu Madame gak munafik dan akan tegas bahwa bilang kalau punya anak (bahkan lebih dari 1) akan ribet dan berasa banget capeknya. Bu Madame gak akan menghianati diri sendiri dengan sok kuat dan bilang,"Gak kok, punya anak itu gak capek!" Itu sih klise dan halusinasi agar tetap terlihat slay.
Jika teman-teman mengomparasikan Mama Jen (Baca: Jennifer Bachdim)* yang tetep slay dengan keempat anaknya traveling keliling dunia dengan kita, sebenarnya Bu Madame yakin jika Mama Jen pasti ada capeknya ngurus keempat anaknya yang tanpa nanny . Tapi jelas kecapekannya tidak akan ditunjukkan di media sosial dan bentuk capeknya juga yang gak stres jadi reog. Support system di sekitar Mama Jen sangat jempolan. Sebenarnya bisa gak sih kita tetap slay kayak Mama Jen (asumsi: support system-nya belum ke jempol, tapi masih status kelingking) ?

Bisa...oh sungguh bisa. Kewarasan dengan banyak anak (asumsi status kelingking tadi, ya), berasal dari hal kecil di pikiran kita.
Gini. Di komen IG Mama Jen, ada netizen yang komen 'Kenapa ya kok bawa anak banyak gitu, anaknya bisa anteng semua. Sedangkan yang bawa satu aja, berasa jagain anak sepuluh'. Kurang lebih seperti itu. Tapi beneran loh...Saat masih anak satu, capeknya kayak nguli. Pas anak tiga, kok malah santuy.
Begini ceritanya, Pemirsa! Hahahaha.
Saat anak masih satu, tanpa kita sadari semua energi dikeluarkan. Heboh belikan mainan baru, ngajak ke tempat wisata, agenda jalan-jalan yang rutin, endesbre endesbre endesbre. Oleh karena ulah kita sendiri yang ingin memberikan pengalaman spesial pada anak pertama, energi kita terkuras di masa pertumbuhannya. Tapi bukankah itu baik? Jelas baik dan gak ada ruginya. Anak ceria, kita juga bahagia, bukan?
Gimana pas anak kedua? Nah..., kali ini kita main doktrin. Saat tahu hamil, Bu Madame terus-menerus sounding ke Kakak bahwa:
1. Akan ada adik yang akan jadi teman main.
2. Kalau adik sudah lahir, Mami sayangnya ke Kakak naik 100%.
Begitu terus sampai Si Adik lahir. Hal ini dilakukan agar tidak ada kecemburuan di hati Si Kakak.
Begitu juga saat hamil anak ketiga. Diulang lagi doktrin tadi dengan ditambahkan: Kalau Adik sudah lahir, Mami sayangnya ke Kakak naik jadi 200%, sayang ke Mas naik 100%.
Plus ada kalimat mutiara:
~Kalau Kakak bantuin adik, Mami kok jadi tambah sayang, ya!
~Kalau Mas baik ke adik, Mami kok jadi tambah cinta, ya!
Doktrin seperti itu terus berlanjut selama perjalanan tumbuh kembang mereka sampai saat ini.
Kapan waktu mendoktrin? Menjelang tidur, bangun tidur, saat makan bersama, saat berkendara, atau saat santuy berleha-leha.
Nah, begitu juga saat jalan-jalan. Pegang tangannya, bisikkan bahwa kadar cinta dan sayang kita akan naik berpersen-persen lagi. Jadi perlahan mereka akan menempatkan diri memoles kasih sayang dan gak ribet mbarong.
Sudah bisa dibayangkan kan kalau Kakak tempo hari nyeletuk,"Mi, nanti akan ada anak keempat, ya?" HAH!!!!
NB: Perihal support system yang sebesar kelingking, sudah pernah Bu Madame bahas di yucub, ya. Hihihi
*Tengkyu Mama Jen yang sangat inspiratif. Laf