Rabu, 31 Juli 2019

Tak Semanis Itu




Tak Semanis Itu
Namaku Gendis. Biasanya dipanggil Ninis. Entah dari mana pangkalnya hingga D berganti N secara masif. Mungkin karena aku terlihat manis, mereka spontan memanggilku Nis dan diulangnya menjadi Ninis. Kalau dilihat-lihat, memang aku berparas manis. Jadi tak salah penilaian orang terhadapku. Bukankah yang menilai diri kita adalah orang lain? Bukankah tugas kita memang membuat bahagia orang lain? Ya, memang begitu alurnya.
Aku suka dipuji dan tentu saja orang pertama yang selalu memujiku berkali-kali tiada henti adalah Ayahku. Ibuku tak pernah melakukan itu karena kata ayah, ibu sudah berpulang. Entah pulang kemana. Saat itu aku kelas dua SD dan memang tidak tahu maksud dari ‘berpulang’ itu.
Setiap pagi ayah selalu menyisir rambutku dengan rapi ketika hendak berangkat sekolah. Teman-temanku banyak yang menaruh iri karena ayah mereka tidak ada yang peduli dengan kondisi rambut mereka. Entah banyak kutu, pirang, atau tak pernah potong rambut sekali pun. Jadi tak usah heran jika aku selalu terlihat rapi dan bersih dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Banyak teman-teman lelakiku yang usil menggoda. Tapi aku tidak selemah itu. Aku adalah perempuan tercerewet di kelas. Aku berani memukul perut Johan saat ia ketahuan mengintip rok Mita. Johan harus menerima rintihan akibat perbuatannya. Belum lagi aku harus menjewer telingan Agus dan Priyo ketika mereka menarik kuncir rambut Sedayu. Ya, Sedayu yang gampang menangis itu adalah sasaran empuk anak-anak usil yang tidak tahu malu. Tapi untung saja aku sigap membela Sedayu sebelum seluruh rambut Sedayu benar-benar rontok. Tidak bagus juga untuk Sedayu yang cantik jika esok hari harus sekolah dengan kepala botak hanya karena beberapa bagian rambutnya dipotong dengan paksa.
Aku adalah siswa paling rewel jika ada anak yang susah mengerjakan bilangan bulat atau pecahan. Apalagi pelajaran itu sudah diulang berpuluh kali oleh guru kami, Bu As. Kasihan Bu As jika siswanya tidak pernah nyambung saat diberi pelajaran. Aku yang harus teriak-teriak menenangkan teman-teman satu kelas saat jam kosong. Sampai SD kelas enam jabatanku berangkap-rangkap. Ketua kelas iya, sekretaris iya, bendahara iya. Atau bahkan tanpa sepengetahuanku, aku sudah ‘dilantik’ menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan kelas oleh Bu As.
Saat usiaku memasuki dua belas tahun, SD kelas enam kala itu, ayah semakin perhatian terhadapku. Aku dibelikannya hand and body lotion dengan aroma mawar. Wah, harum sekai. Aku jadi suka mengoleskannya hampir di semua bagian tubuhku. Karena saat kubaca cara pakainya,  lotion itu memang digunakan untuk tangan dan badan. Jadi aku tidak salah mengaplikasikannya, kan?
Sejak saat itu, semakin banyak mata yang terpesona melihatku. Belum lagi aku semakin gemar bersolek dengan membeli banyak krim untuk wajah, beberapa bedak, dan pernah mencoba membeli eyeshadow. Tak perlu berburuk sangka, sampai aku SMA, eyeshadow itu hanya kupakai sekali saja, itu pun saat baru membeli kemudian kuhapus lagi karena kulihat mataku menjadi aneh, seperti bengkak.
Umurku sudah empatbelas tahun saat aku memulainya. Ya, aku memulai sebuah ritual yang awalnya ganjil tapi lambat laun menjadi kebiasaan. Hampir setiap malam, aku mengendap ke kamar gelap dan di sana sudah menunggu ayahku. Ayah bilang, dengan melakukan ritual itu, pesonaku semakin terpancar. Aku yang memang senang akan pujian tentu saja manut. Meskipun mulanya aku merasa tubuhku bau dan lembab entah karena basah atau hanya perasaanku saja.
Malam pertama melakukannya, aku serba salah dan merasa sekujur tubuhku lengket. Malam-malam berikutnya tugasku adalah mendesah dan menggelinjang. Lambat laun aku sudah bisa mengikuti ritme dan alurnya.
Namun sejak itu juga aku merasa ada yang berubah dalam diriku. Aku lebih pendiam. Predikatku sebagai siswa tercerewet menguap. Orang-orang terlihat maklum saja melihat perubahanku. Mereka bilang aku sudah beranjak remaja, gadis desa, dan memang sudah bisa mengontrol emosi. Itu pandangan mereka. Tapi terus terang saja bukan itu yang aku rasakan, walaupun aku hanya mengangguk manis saat banyak orang memuji perubahanku yang terlihat lebih kalem.
Tapi tidak pada bulan-bulan berikutnya. Banyak mata melihatku dengan aneh. Tak jarang yang mencibir hingga terang-terangan bertanya kepadaku. Pertanyaan-pertanyaan yang menganggu terus saja dilontarkan oleh mulut-mulut usil kurang kerjaan. Mereka yang awalnya memuji sekarang justru berbalik mencela. Teman-teman baikku yang dulu selalu kubela, saat ini banyak yang menghindar dengan berbagai alasan.
“Nis, bapakmu kok nggak kawin lagi?” atau “Nis, kok gendutan?” atau yang lebih langsung tepat sasaran, “Hamil ya, Nis?” Diam adalah pilihan saat banyak terlontar berbagai tanya yang justru memang tidak bisa kujawab. Sudah kubilang, hidup ini tugasnya adalah untuk memenuhi kebutuhan orang lain baik itu melayani pertanyaan atau sajian penampilan. Seperti saat ini aku yang terus diserang oleh hal yang sebenarnya menguliti diriku sendiri. Ironi sekali, bukan?
Memang waktu yang akan menjawab. Saat banyak cibiran datang, saat itu juga aku merasa ada perubahan dalam tubuhku. Aku gampang sakit-sakitan dan masuk angin. Badanku sering demam dan seringkali aku muntah tanpa sebab. Kepala mendadak pusing seperti kekurangan darah. Ayah membawaku ke bidan terdekat. Hasilnya tentu sudah bisa kalian terka.
Tak butuh waktu lama, aku dan Ayahku memutuskan menghindari tatapan sinis banyak orang dengan segera pergi dari tempat tinggal kami. Biarkan mereka sibuk berceloteh asal ayahku tetap menjagaku.
Sekolahku putus begitu saja. Aku tidak memikirkan banyak hal kecuali kesehatanku dan kebersamaan dengan ayahku. Bagaimana dengan ritual kami? Kami terus melakukannya. Entah apa yang ada di benak kami sehingga kami masih saja bergelung di kamar gelap hingga bertahun-tahun lamanya. Anehnya, aku tidak pernah membenci ayahku. Di dunia ini hanya ayah yang menjaga dan melindungiku meskipun...ah!
Lagi-lagi waktu memainkan perannya. Ayahku tiba-tiba ambruk setelah keluar dari kamar mandi. Detik itu juga Ayahku tak bergerak lagi. Bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah? Tak bisa kuceritakan.
Aku memutuskan pergi ke kota berkat ajakan seorang kenalan ayah. Di sana aku menumpang hidup sampai waktu itu tiba. Kenalan Ayah dengan seenak udelnya berkata, “Kamu bekerja saja dengan baik. Layani mereka dengan sopan. Biar dia kubawa, tak usah kau tanya lagi.”
Tak pernah lagi aku secerewet dulu. Aku  bungkam dan memilih menuruti petuah kenalan ayah karena kupikir itulah yang terbaik.
Namaku Gendis. Saat ini aku tidak lagi dipanggil Ninis. Bersamaku sebatang rokok menyala dan melekat baju dengan kain kurang bahan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar