Selasa, 30 Juli 2019

Rindu Julian



Ketika memutuskan untuk menceritakan kisah ini, aku sedang menunggu seesorang yang memang membuat ‘janji’ denganku. Kopiku sudah terasa hangat, waktuku untuk menyeruput. Butuh waktu sekitar enam atau tujuh menit bagiku untuk siap menikmati kopi dengan suhu yang sesuai menurutku.
Adalah hal klasik jika seseorang duduk di pojok cafe, ditemani rintik hujan dan dengan suasana senja temaram. Persis seperti cerita di film atau novel roman. Harus kuakui jika suasana seperti ini sangat menjual. Hujan, senja, dan kopi adalah sesuatu yang sangat komersil. Nyatanya, aku mengalaminya sendiri. Satu lagi, suasana seperti ini tentu menggambarkan suasana hati yang gundah atau sedang putus cinta.
Bedanya, aku sedang jatuh cinta. Meskipun aku didukung oleh hujan, senja, dan kopi, nyatanya aku sedang tidak patah hati. Justru sebaliknya.
Minggu lalu aku baru saja membuat pakta dengan seorang gadis yang tentu saja sudah masuk daftar seleksi dari banyaknya perempuan yang sudah tiga tahun terakhir dekat denganku. Aku adalah tipe manusia berjakun yang susah untuk jatuh cinta. Pasalnya aku pernah sangat terluka. Banyak yang mengira bahwa aku adalah sosok badboy dengan dandanan cuek ditambah tampang yang lumayan untuk memikat banyak gadis. Pembawaanku santai, bisa dikatakan supel, cenderung banyak yang menganggapku playboy. Tentu saja stigma itu muncul karena aku dengan kerelaan hati sering tidak bisa menolak permintaan beberapa gadis untuk ditemani hanya untuk ngobrol atau sekedar makan malam. Tapi di balik itu semua, hatiku sudah tertambat. Ya, tertambat oleh luka yang jika kuingat akan menyisakan perih. Asal kamu tahu, aku memang pandai menyembunyikan luka. Tak banyak yang tahu saat aku terpuruk dan berada di titik terendah. Aku selalu menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja, tak ada apa-apa, dan i’ll be okay!
Baik, sembari menunggu pesanan nasi gorengku, meskipun kopi sangat tidak nyambung dengan nasi goreng, biar saja, aku lapar, aku akan ceritakan bagaimana patah dan sakitnya hatiku.
Di luar langit masih mendung. Kali ini aku susah untuk membedakan apakah sudah benar-benar malam atau memang langit sedang gelap karena tertutup awan. Kulihat jam yang menempel pada dinding cafe. Sudah pukul lima lebih tigabelas.
“Aku masih banyak tugas. Besok harus dikumpulkan. Aku kerjakan di kamarmu, ya?” Sebenarnya kamu bukan bertanya atau meminta saat mengatakan itu. Buktinya buku-bukumu beserta banyaknya kertas sudah berserakan di lantai kamarku. Aku hanya mengangguk saja, antara pasrah karena kamarku terlihat sangat berantakan dan senang karena seharian ini bisa bersamamu.
“Tidak ada kelas?” tanyamu sambil terus menulis, tidak sedikit pun menoleh padaku. Padahal pertanyaan itu jelas terarah padaku. Aku maklum karena di kamar ini hanya ada kita berdua, tentu kamu tak perlu sibuk mengangkat kepala dan sudah pasti pertanyaan itu untukku.
Lagi malas, jawabku kala itu. Aku menyulut rokok dan duduk bersandar di pintu yang terbuka. Kamu adalah perempuan yang tidak cerewet saat aku sibuk merokok. Kamu hanya akan marah jika aku lupa solat atau sibuk party  dan mabuk-mabukan. Jika kedua hal itu sampai ketahuan olehmu, bisa jadi seminggu tidak akan keluar satu kata pun dari bibir mungilmu. Kamu adalah orang yang konsisten. Ya, konsisten dan kuat untuk diam saat marah. Padahal kalau kamu sedang baik dan tidak PMS, banyak cerita yang keluar dan selalu banyak tawa saat kita bersama. Kamu yang lucu, aku yang konyol, kamu yang tertib, aku yang urakan, kamu yang populer, aku yang sangat jatuh cinta padamu, dan aku senang saat kamu memelukku atau menciumku tanda terima kasih sudah diantar pulang atau jalan-jalan adalah hal-hal yang tidak pernah bisa aku lupakan sampai saat ini.
“Kalau bolos terus, kapan selesainya?” tanyamu sedikit ketus.
Ah, kamu memang suka judes kalau menyangkut masa depan. Ya, aku bolos kuliah juga salah satu hal yang paling kamu selidik dari kehidupanku. Padahal hal yang paling aku senangi di kampus adalah saat-saat mengantar dan menjemputmu kuliah. Waktu itu aku merasa seperti pangeran berkuda putih yang menjemput puteri tercintanya. Aku tidak mau kamu sibuk dengan teman-temanmu saat kelas sudah usai. Aku ingin buru-buru menjemputmu dan membawamu pulang ke kamarku. Apalagi jika aku melihat kamu bercengkrama dengan beberapa teman priamu, tertawa lepas, bahkan tak jarang saling pukul atau tinju-tinju kecil di antara gelak itu. Aku tak suka. Terus terang saja aku cemburu.
Malam itu kamu kembali sibuk dengan beberapa tugas. Lama-lama aku bosan dengan kegiatanmu. Kamu sudah jarang bisa diajak jalan-jalan seperti sebelum jadwal kuliahmu penuh. Kamu terlalu banyak mengambil SKS. Aku tak suka dengan kamu yang seperti itu meskipun banyak yang bilang kamu adalah gadis populer dan pintar di kampus. Seharusnya aku bangga dengan predikatmu, tapi aku bukan pria wajar yang rela melihatmu sibuk dan aku merasa diabaikan.
Kamu terus saja menulis, membuka-buka buku-buku tebal yang kamu sebut referensi, dan terus diam larut dalam tugas. Aku berdehem hanya untuk sekedar mencari perhatian. Kamu bergeming. Kusulut sebatang rokok, kuhembuskan dan kumainkan asapnya agar aku sedikit ada aktivitas.
Setelah sekitar setengah jam, kulihat kamu membereskan kertas-kertasmu. Ah, ini waktunya kamu utuh jadi milikku, pikirku kala itu.
Tanpa pikir panjang, kumatikan rokokku sembarangan. Kuhampiri kamu yang sibuk memasukkan buku ke dalam tas. Kuacak-acak rambutmu agar kamu terhibur. Kamu terlihat biasa saja. Ah, mungkin kamu pura-pura, ingin diperlakukan lebih. Kontan saja, aku segera mengecup keningmu dan ternyata kamu membalas lebih dari itu.
Kamu menerobos saja, menggigit bibirku. Tentu saja aku senang. Karena aku laki-laki yang punya jiwa tak mau kalah, kubalas ciumanmu dengan lebih ganas. Seperti biasa, kita bergelung saling sikut di kasur. Kamu semakin beringas dan aku tambah ganas. Sayangnya, setelah dua tahun kita bergelung, adegan terakhir selalu sebatas ciuman, tak lebih.
Pernah di sudut hatiku merasa kecewa dengan ending  yang begitu-begitu saja. Tapi aku tidak pernah bisa memaksamu untuk menerima saluran hasratku sebagai lelaki.
“Aku sudah capek. Sepertinya tidak ada harapan,” ujarmu tiba-tiba setelah kita sibuk tertawa dan saling lempar ciuman. Tentu saja aku tidak paham apa maksudmu.
“Rasanya tidak ada kepastian dengan apa yang kita jalani.” Setelahnya kamu diam dan kembali sibuk membenahi isi tasmu. Rasanya itu hanya adegan pura-pura agar kamu tak terlihat grogi.
Kali ini aku paham, meskipun aku tidak pernah siap dengan kejadian ini. Aku yang selalu membayangkan kita akan selamanya bisa seperti ini, ternyata hanya dengan kata ‘capek, harapan, dan kepastian’, aku harus benar-benar mengubur semuanya.
Bagimu semuanya simple. Setelah kamu bilang “usai saja”, kamu melenggang entah kemana. Aku? Jelas saja aku tidak tahu akan kemana. Kita tidak pernah bertemu lagi setelah itu, nomormu ganti, dan kamu seolah menghilang begitu saja.
Pelukan-pelukan itu, ciuman-ciuman itu, tawa-tawa itu, sirna semua.
Tak ada lagi makan malam bersama, tak ada lagi antar jemput kuliah, tak ada lagi pertengkaran kecil karena aku sengaja tidak solat dan jelas aku kembali party dan terus-menerus mabuk. Berhari-hari aku menjadi kacau. Bukan. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun hingga saat ini. Terhitung sudah limabelas tahun.
Aku menyimpan luka selama itu. Bisa kau bayangkan bagaimana palsunya hidupku.
Hatiku nyeri bahkan sampai saat ini saat menunggumu. Alunan musik menambah syahdu, tapi tidak dengan hatiku. Kuseruput kopiku yang hampir tandas menyisakan ampas. Nasi gorengku sudah dingin dan aku tidak lagi berselera untuk menyantapnya. Kamu belum juga datang.
Kubuka lagi pesan yang kamu kirimkan semalam.
“Aku rindu, Julian!”
Ternyata selama belasan tahun aku masih belum mengenalmu dengan baik. Kupikir pesan itu isyarat untuk melebur rindu. Aku sudah tahu tempat dan waktunya, hanya sampai saat ini aku belum tahu isi hatimu.
Kopiku tinggal ampas, nasi gorengku sudah tak menarik, dan hatiku masih terluka.
 Last July 2019, 08:35


Tidak ada komentar:

Posting Komentar