Rabu, 02 Agustus 2017

'Diperkosa' Kasih Sayang

Selamat pagi!
Gundah gulana dan sedikit linu mengawali pagi saya kali ini. Sudah dua hari tidak nyaman untuk beristirahat malam. Pasalnya, kondisi perut saya sudah membesar (hamil tua, 8 bulan euy!). Tidur miring kanan-kiri bukan solusi. Apalagi terlentang atau tengkurep? Yang terakhir jelas tak mungkin.
Selain itu, pikiran saya tengah terganggu dengan hal -yang sebenarnya sepele- tapi krusial. Selama bulan puasa kemarin masalah ini sudah muncul. 
Ibu yang momong (mengasuh) anak saya, tiba-tiba mau berhenti. Dulu dia pernah bilang dua kali, sih! Tapi saya tolak karena anak saya tipe anak yang susah berbaur dengan orang lain, apalagi orang baru. Saya minta dengan sangat -baca: memohon- agar dia merelakan waktunya untuk tetap momong si Kakak.
Pusing pala berbie waktu dia terlihat sedikit enggan. Saya dan suami pun putar otak untuk cari ganti. Jam 9 pagi dia minta keluar, jam 12 siang saya muter cari pengasuh baru. Sudah ada pandangan dan menurut saya orang baru itu cocok untuk si Kakak, eh...ternyata dia tidak ada di rumah. Kacaulah saya. Saya pasrah, nangis, dan berpikir belum jodoh.
Demi melihat saya yang terus sesenggukan dan bolak-balik meratapi wajah Kakak yang lugu, suami saya akhirnya mengajak saya jalan-jalan dulu. Refresh otak, katanya. Biar nggak stress. Nyatanya saya tetap stress, kepikiran, dan kasihan dengan Kakak.
Selepas Magrib, kami kembali mendatangi rumah calon pengasuh Kakak yang baru. Oke fix, kami langsung ketemu, to the point (tanpa mukadimah), lanjut deal. Alhamdulillah. Hanya butuh sekitar lima belas menit berbincang dan akhirnya besok mulai kerja. Saya juga pamitan pada pengasuh yang lama dan mengucapkan terimaksih karena sudah hampir empat tahun bersama Kakak. Meski agak mellow, saya harus ikhlas. Apalagi Kakak, dia nempel terus sama pengasuhnya. Iiih...jadi sedih plus geregetan!
Apakah masalah langsung terselesaikan dengan kehadiran pengasuh baru, pemirsa? Oh...ternyata TIDAK!
Saat pengasuh baru -sebut saja Mak A- datang, Kakak melihatnya seperti orang asing. Padahal semalam sudah kami ajak kenalan. Oke, Kakak memang tipe anak yang introvert dalam pergaulan. Dia hanya mau sama teman yang sudah bertahun-tahun dikenal. Di lingkungan perumahan saja, ia hanya mau bermain dengan anak di depan rumah. Selain anak itu, Kakak akan cuek setengah mampus! Aaarrggh!!!
Kembali ke hari pertama Mak A kerja di rumah kami. Sudah saya beritahu tentang ini-itu kepada Mak A, perihal hal yang boleh atau tidak boleh, sesuatu yang bisa dan tidak bisa untuk si Kakak. Setelah jelas, dengan berat hati saya pun berangkat kerja. Tidak tega sebenarnya meninggalkan Kakak begitu saja. Saat di kantor, hati saya ketar-ketir. Kepikiran kondisi Kakak di rumah.
Saat jam istirahat, saya putuskan untuk menjenguk Kakak. Hasilnya? Kakak terlihat baru mandi dan tengah menonton tv. Tapi ada yang beda. Kakak jadi lebih pendiam. Waktu melihat saya masuk rumah, Kakak langusng meneteskan air mata. Kakak tidak menangis yang meraung-raung manja, hanya air matanya yang tiba-tiba mengalir. Bukankah itu pertanda kalau hatinya sangat sedih? Saya jadi ikut nyesek dan langsung peluk si Kakak.
"Are you okay, Boy?" tanya saya saat Kakak sudah ada di dekapan.
Kakak menggeleng pelan. Deg! Hati saya jadi tambah ikut sedih.
"Dari tadi diam aja, Bu! Saya tawari segala macam, nggak mau ngomong. Saya juga bingung," jawab Mak A.
Saya paham dan tidak menyalahkan siapa pun. 
Tahukah Anda, kondisi seperti itu berlangsung selama empat hari! Kakak mogok bicara, hati saya ketar-ketir selama ninggalin Kakak, dan air mata kembali menetes saat saya jenguk Kakak. Tambah sedih hati saya.
Oke, otak kembali berputar. Saya dan suami kembali ke rumah pengasuh yang lama. Dengan amat sangat memohon, saya meminta dia untuk mau momong Kakak lagi. Masalahnya, setiap bangun tidur, Kakak langsung memanggil pengasuhnya dan nangis bombay. Selama empat hari, pagi hari kami selalu diwarnai dengan sedih dan tangis.
Syukurnya, pengasuh yang lama mau menerima tapi saya juga harus cari pengganti sembari dia momong lagi.
Mak A yang bekerja di rumah kami tidak serta merta kami berhentikan. Kami minta untuk bantu bersih-bersih rumah tanpa momong Kakak dan kami siapkan untuk momong Adik nanti. Kondisi seperti itu berjalan selama dua bulan.
Oh ya, saya juga punya Mbak yang bagian nyetrika. Nah, ternyata setelah lebaran kemarin, Mbaknya juga minta berhenti karena dia ada praktik dari sekolahnya. Okelah saya lepas dan saya yang ganti bertugas nyetrika di rumah.
Nah, selama saya cuti ini, saya ingin memanfaatkan waktu saya bersama Kakak. Saya pamitan ke pengasuh Kakak bahwa selama tiga bulan biar Kakak sama saya. Dia pun mau dan nampak senang, saya pun tidak tahu pasti.
Seiring waktu berjalan (cieeee....), Kakak lambat laun kadang mau kadang tidak sama Mak A. Saya pun tidak memaksa. Takut Kakak belum siap dan terluka hati. Saya pun bersikap biasa saja, takut Kakak nanti berubah pikiran.
Tapi ternyata oh ternyata, masalah (yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan) justru datang dari luar. Saya mendengar selentingan kalau pengasuh Kakak yang lama ternyata memang niat ingin keluar dengan alasan yang tidak bisa saya sebutkan di sini (tidak etis ya, guys!).
Menangislah saya mendengar gosip itu. Karena selain gunjingan yang tidak jelas, di dalam rumor itu terdapat beberapa fitnah yang sebenarnya saya merasa tidak pernah melakukan. Sakit hati saya!!!
Selain itu, tiba-tiba saja ada beberapa orang yang mau mendaftar bekerja di rumah saya. Saya juga bingung. Apa-apaan ini? Wong yang satu minta keluar, tiba-tiba saya diberondong dengan beberapa orang baru. Ah, tidak saya hiraukan. Saya harus selektif dan menimbang banyak hal agar tidak terjadi fitnah lagi.
Sehari semalam saya dan suami merefleksi diri. Apa salah dan kurang kami, sehingga begitu banyak berita di luaran yang ternyata menyudutkan saya. Jadi pengen mewek lagi kalau ingat fitnah dan omongan nggak jelas itu! Huhuhu
Saya kembali putar otak dan berdiskusi dengan suami. Kebetulan ada Mbak B yang baru keluar kerja dari teman saya (karena alasan yang juga tidak bisa saya sebutkan di sini). Mbak B baik orangnya, tapi masih punya baby. Saya coba pikir ulang. Siapa tahu selama tiga bulan PDKT, Kakak mau sam Mbak B. Karena Kakak sebelumnya sudah pernah tahu dan mengenal Mbak B.
Saya menawari Mbak B untuk nyetrika dulu sembari mengenal lingkungan rumah dan siapa tahu Kakak mau sama Mbak B. Entahlah...
Dari sekian banyak tulisan dan curhatan saya, akhirnya saya menyadari bahwa secara tidak langsung sebagai orang tua kita tidak mau kalau anak kita ditelantarkan, berubah jadi pendiam, hatinya tidak nyaman, dan murung terus menerus. Meskipun juga secara tidak langsung saya juga 'menelantarkan' anak dengan alasan bekerja. Sebenarnya saya yang jahat dan tidak tahu diri. Huhuhu
Selama cuti ini saya benar-benar merasa 'diperkosa' oleh anak saya. Dia 'memaksa' saya untuk tetap ada di sisinya dan selalu memberikan yang terbaik untuknya.
Putar otak cari pengasuh yang cocok dan pas ternyata sangat sulit. Hal itu juga yang ternyata 'memperkosa' pikiran saya. 
Kondisi memaksa, memohon, dan dipaksa tangguh untuk tetap mencurahkan kasih sayang terhadap anak ternyata memang membutuhkan ketegaran hati dan kekuatan jiwa. Kalau tidak, bisa saja saya putar balik, frustasi, dan bunuh diri (Ah, lebay!).
Demi anak saya, saya harus menebalkan telinga, menata hati, koreksi diri, dan mencoba bertahan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar