Di Batas Pintu
Hati
Oleh: Vika Varia
Matovana
Sudah
lebih sepuluh menit aku duduk di teras berubin putih ini. Seharusnya loket
sudah dibuka sejak tadi. Tapi sayang, sampai saat ini belum ada tanda-tanda
dibuka.
Kulipat-lipat kertas kecil berwarna
biru untuk membunuh kebosanan. Kadang kubuat menyerupai kapal, pesawat, atau
lebih banyak tak berbentuk, hanya kuremas-remas saja. Di depanku, dua anak
kecil sibuk berlarian sembari membawa jagung yang tinggal bonggolnya saja. Salah
satu di antara mereka, tangan kirinya memegang seplastik es teh yang tinggal
separuh saja isinya.
Melihat isi plastik itu, tiba-tiba
saja tenggorakanku terasa haus. Ah, pasti segar sekali jika menyeruput es teh
di panas terik seperti sekarang ini. Penjual pentol keliling sibuk melayani
pelanggan. Aroma yang disebarkan oleh bumbu bakso menggoda perutku. Tapi
seperti nasib es teh bayangan tadi, aku harus menahan diri untuk tidak membeli
apa pun sebelum bisa bertemu dengan Mas Iik.
Ya, aku sudah berniat untuk bisa
sarapan bersama dengan Mas iik, suamiku. Aku sudah menyiapkan bekal istimewa
untuk bisa berbagi makanan dengannya. Tempe goreng, sambal ati, dan lodeh
kacang panjang sudah terbungkus rapi di plastik.
Kubuka kresek putih di sampingku,
memastikan lagi isinya. Bekal sarapan, mie instan yang sudah terbuka
bungkusnya, beberapa sachet kopi
instan, sabun cuci yang sudah kutuang dalam botol air mineral, dan beberapa
camilan kesukaan Mas Iik.
“Sepuluh!” Teriakan itu seketika
membuyarkan lamunanku. Aku bergegas menuju loket.
“KTP!” Aku mengulurkan KTP yang
sedari tadi sudah kusiapkan.
“Foto dulu!” Aku memasang wajah
sedikit tersenyum pada kotak hitam kecil yang di tengahnya terpasang lensa
lebih kecil.
“Sudah. Tunggu dulu di sana!”
tunjuk petugas loket.
Hari ini tidak seperti biasanya.
Selain cuacanya lebih panas, bawaanku sedikit lebih berat. Mas Iik memintaku
membawakan beberapa surat penting untuk diurusnya. Beberapa lembar fotokopi
kertas-kertas yang aku tidak tahu isinya dan barang-barang pesanannya, seperti
beberapa pasang baju putih. Aku sedikit beruntung karena tidak berangkat
terlalu pagi seperti biasanya, naik motor dengan bawaan yang banyak seperti ini.
Kebetulan ada mobil yang akan ke pasar dan aku diperbolehkan menumpang.
Anak pembawa es teh tadi sudah
berhenti berlarian. Mungkin dia lelah. Sebagai gantinya, ia berselonjoran
santai di sebelahku. Teras berubin putih yang kami duduki ini rasanya jarang
tersapu. Buktinya rokku sudah mulai ada bercak berwarna coklat, tanda debu menempel
dengan baik di kainku.
“Satu sampai lima!” Suara petugas
membuatku semakin bingung, antara haru, senang, dan tegang. Aku bisa memastikan
saat bertemu dengan Mas Iik nanti, kami akan saling menangis dan susah untuk
bercerita banyak hal. Kondisi seperti itu sudah sering kami lalui. Kami hanya
berpegangan tangan, enggan melepas, dan sama-sama menangis. Kami tidak perlu
mengeluarkan banyak kata-kata. Airmata kami sudah mewakili dan mampu
menerjemahkannya.
Mengingat wajah Mas iik yang
sedikit lebih kusam karena kurang mendapatkan perhatian, membuat hatiku melecus
ingin segera mengusapkan lotion
pembersih muka. Mas Iik yang tidak suka dengan haal-hal yang jorok, kini
terpaksa harus berteman dengan hal yang kurang disukainya. Itu membuatku
sedikit berat saat melihat kulitnya yang mulai menghitam dan mengering, tanda
kurang memperhatikan kebersihan.
Belum lagi badannya yang kurus,
membuatku merasa semakin bersalah karena seolah mengabaikan kesehatannya. Oleh
karenanya, setiap kali aku datang, aku sebisa mungkin membawakan makanan
kesukaan Mas Iik.
“Coba
kalau istrinya nggak nuntut banyak hal, pasti semuanya baik-baik saja.”
“Itu
sih karena salah pergaulan saja.”
Berbagai opini dan prasangka muncul
tiba-tiba. Cemooh dan prihatin tak ada bedanya. Bahkan aku juga semakin susah
membedakan mana yang benar-benar bertanya atau hanya sekadar basa-basi. Saat banyak
anggapan muncul, aku hanya bisa tersenyum tipis dan sibuk meminta doa.
“Enam sampai sepuluh!”
Aku segera bangkit menuju pintu
bercat abu-abu, mengulurkan kartu berwarna biru yang sudah hampir tak
berbentuk. Pergelangan tangan kiriku segera mendapat stempel sebagai tanda izin
masuk ruangan. Dengan beberapa perempuan lain, kami menyerbu ruangan berukuran
sekitar 4 x 4 meter dengan cat berwarna abu-abu, lebih gelap dari cat pintu
depan tadi.
Kami yang berada di ruangan temaram
itu seolah sudah kompak dan terorganisir, langsung membentuk lingkaran dan
menyingkap pakaian kami masing-masing secara otomatis. Petugas menggeledah
tubuh kami bergiliran dan memastikan kami tidak membawa benda berbahaya. Kami
yang sebenarnya sedang diliputi perasaan berduka, sontak tertawa-tawa saat
mendapati salah satu di antara kami digeledah pada bagian tertentu oleh
petugas. Menurutku ini hiburan tersendiri. Sedikit tertawa lepas sebelum saling
menangis saat bertemu dengan Mas Iik nanti.
“Uangnya nggak usah banyak-banyak,
ya! Tiga ratus ribu maksimal,” seru petugas yang menggeledah kami. Perempuan
kurus tapi tegas dan bersuara lantang. Kami ‘iya-iya’ sambil keluar ruangan
secara berebut. Sandal dan kaus kaki sudah kumasukkan ke dalam kresek berwarna
kuning yang sudah disediakan oleh petugas. Kresek putih yang berisi makanan dan
perlengkapan Mas Iik sudah selesai diperiksa.
Aku melewati pintu besi, tinggi
menjulang berwarna perak.
Kulihat kerumunan orang-orang sibuk
berlalu lalang. Semua saling mencari. Pengeras suara memanggil nama satu
persatu.
“Yayuk!”
Aku melihat tubuh kurus Mas Iik,
dibalut kaos putih dengan rompi orange.
Celana lusuh berwarna biru yang dipakai Mas Iik membuat mataku tidak bisa
terlalu lama menahan airmata. Hatiku sudah menangis sejak pertama kali datang
ke tempat ini. Jadi, airmata yang keluar setiap kunjungan adalah hal lumrah
yang terus kudapati.
Kami saling berpelukan, seolah
sekian tahun tidak bertemu. Padahal dua minggu lalu kami sudah bertemu untuk
melepas rindu.
“Sakit?” tanyaku. Mas Iik
menggeleng lemah kemudian menggiringku untuk duduk di bangku taman. Beberapa
bunga asoka tumbuh dengan baik. Kuncup kecil mengelilingi daun-daun asoka.
Beberapa pot berisi bunga mawar mengelilingi kolam ikan di depan kami.
“Sarapan, yuk!” ajakku. Segera
kubuka kresek putih yang sudah kusiapkan dengan diiringi perasaan haru tadi
pagi. Seperti biasa, saat menyiapkan bekal untuk Mas Iik, airmataku turut andil
dan mengambil peran dalam mengobrak-abrik perasaanku.
“Sambal atinya pedas, lho Mas,”
godaku. Aku berusaha mencairkan suasana, tapi gagal. Airmataku lebih dulu jatuh
dan itu tidak bisa membohongi perasaanku.
“Maafkan aku, Yuk! Kamu pasti
kerepotan,” ujar Mas Iik terbata. Genggaman tangannya sedikit meredakan amarah
yang kemudian kusesali karena sempat marah padanya. Aku menggeleng mendengar
kata-katanya yang berat. Mas Iik pasti selalu merasa bersalah. Ia terus merasa
seperti itu sampai kapan pun.
“Kita makan saja, Mas,” alihku.
“Aku sudah lapar. Lama sekali petugasnya membuka pintu. Sebal jadinya,”
selorohku.
Mas Iik melepas genggamannya.
Dibukanya bungkusan yang berisi tempe goreng. Dituangnya perlahan kuah lodeh
kacang panjang ke piring plastik yang kubawa.
“Aku suapin, ya!” bujuknya manja.
Terus terang saja aku tersipu mendengarnya. Belum sempat menjawab, sesendok
penuh berisi nasi dan lauk hampir mendarat ke mulutku, memaksaku untuk segera
membuka mulut.
“Makan yang banyak, Yuk. Biar kamu
nggak sakit-sakitan. Badan sudah tambah kurus begitu,” ujar Mas Iik. “Sakit?” imbuhnya.
Aku menggeleng. Badanku memang
kurang sehat beberapa hari terakhir. Hujan yang terus turun selama dua hari,
menyebabkan kondisi badanku sedikit memburuk. Flu dan batuk mendera. Tapi aku
tidak mau Mas Iik tahu tentang hal itu. Toh, cuma sakit biasa.
“Jangan capek-capek, Yuk. Nggak
usah mikir aneh-aneh. Aku baik-baik saja di sini, lebih tenang,” jelasnya
kemudian.
Aku sibuk mengunyah makanan di
mulut, tidak bisa menjawab dengan segera. Padahal sebenarnya aku hanya
pura-pura sibuk mengunyah demi menghindari mata Mas Iik. Mata yang sudah
memporak-porandakan kehidupanku. Mata yang dulu membuatku jatuh cinta. Mata
yang selalu membuatku bangga akan sikap ksatrianya. Mata yang sekarang redup karena
kesalahannya. Mata itu kali ini sudah tidak punya warna. Tapi aku yakin, ada
secercah harapan di balik mata itu.
“Ini!” Aku menyerahkan beberapa
kertas yang sudah diminta oleh Mas Iik tempo hari. Berkas pengajuan dan entah
apa lagi, aku tak tahu.
“Terima kasih, Yuk!” Matanya
melukiskan berjuta-juta maaf yang tidak bisa terucap. Lagi-lagi aku hanya bisa
mengangguk. Kali ini aku pura-pura sibuk membereskan bekas makan kami. Tangan
Mas Iik mencegah kegiatanku. “Biar aku saja yang membereskan,” ujarnya.
“Yuk, apakah kamu kuat?” Napasku
menderu mendengar pertanyaan itu. Mas Iik menambahkan, “Ini tidak mudah untuk
kita, Yuk. Aku minta maaf.”
Kali ini airmataku tak bisa lagi
dibendung. Tanpa malu lagi aku benar-benar menangis.
Dadaku hangat oleh pelukan Mas Iik.
Begitu banyak orang berkumpul di tempat itu, tapi tak satu pun yang mengganggu
atau mengusik kami. Semua saling tak peduli, sibuk dengan diri sendiri. Aku
bersyukur dengan kondisi tak acuh seperti itu. Aku bebas membalas pelukan Mas
Iik. Pelukan yang sebisa mungkin tak mau kulepas.
Hidup memang relatif. Dua jam
terasa lama bagi mereka yang menunggu. Sepertiku yang tadi menganggap petugas
bekerja sangat lamban karena membuka pintunya telat sepuluh menit. Tapi dua
jamku dengan Mas Iik kali ini terasa sangat cepat.
Aku sudah berjalan menuju pintu
besi yang menjulang tadi.
“Yuk, maukah kamu menungguku?”
pintanya lirih.
Aku tidak bisa menjawab. Mengangguk
atau menggeleng pun sudah tak mampu. Aku hanya bisa menangis kemudian mencium
tangannya. Tak perlu kujelaskan seberapa besar kesetiaanku yang sudah kusiapkan
untuknya.
Esok lusa, aku akan kembali ke
tempat ini dengan kondisi yang sama.
Menangis dan saling menguatkan.
Pintu tertutup dan hatiku kembali
sesak.
Editing pagi hari
di meja kerja, 11 Mei 2022
Bu madame....cerpen mu membawaku menghayal tentang sosok seorang yayuk..
BalasHapus