Sabtu, 28 Januari 2012

Karena Cinta Gak Ada di Piring!

"Umur berapa Mbak?", "Kapan nyusul nih?", "Calonnya orang mana?", "Target umur berapa nikahnya?", "Pacaran udah lama, gak takut karatan nih?", "2012, keburu kiamat lho!", dan masih banyak lagi pertanyaan dan pernyataan lain tentang MENIKAH!

Ya, saya sudah 25 tahun, nyusul nanti kalau sudah waktunya, calon saya sementara orang Lumajang, target umur 25 ini, gak kok -kami selalu merefresh hubungan kami-, 2012 belum tentu kiamat! Itu jawaban saya yang disertai nada jengkel, wajah merengut tapi diakali dengan nada guyon.
Saya juga ingin menikah!!! Menikah kan memang sunnah (bisa wajib juga!), karena saya juga ingin melihat bagaimana bentuk rupa dan wajah cucu dari orang tua saya dan (calon) mertua saya. Tetapi saya tidak serta - merta memutuskan menikah dengan hanya mengedipkan mata dan langsung cling saya menikah! Banyak yang harus saya siapkan, pikirkan, dan hadapi.

Persiapan mental dan ekonomi menjadi alasan pertama yang harus membuat saya menunda (belum terpikirkan) untuk menikah. Saya (dan pacar saya) harus punya persiapan finansial agar sebelum, menikah, dan setelahnya, kami tidak merepotkan orang tua. Mental juga perlu sekali disiapkan agar pada saat sebelum, menikah dan setelahnya kita bisa menjadi lebih bijak dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan relationship.

Saya ambil contoh kecil, tetangga saya menikah sekitar umur 16 tahun. Waktu pacaran mereka nampak bahagia. Si cewek selalu dibelikan baju, traktir makan, dan kebutuhan lain terpenuhi. Sampai akhirnya pasangan ini memutuskan menikah muda. Selang beberapa waktu kemudian, si cowok berhenti dari pekerjaannya dan sekarang hanya nongkrong bareng teman-teman seusianya. Padahal pasangan muda ini sudah punya anak yang harus diperhatikan! Bisa jadi karena kurang puas menikmati masa muda. Endingnya, si cewek malah curhat ke saya kalau menikah dan punya anak itu ruwet!

Saya bisa menangkap apa maksud dari pernyataannya itu. Dia bukan menyesali keadaannya yang sudah menikah dan mempunyai anak yang lucu, tetapi dia menyesali keputusannya menikah pada saat ia dan (calon) suaminya dulu belum memiliki pondasi yang kuat untuk membangun sebuah keluarga. Salah satu masalahnya sudah barang tentu berkaitan dengan keadaan ekonomi (masalah uang).

Sudah banyak contoh yang ada di depan mata saya, bahwa untuk memutuskan hal yang bersifat ekstrim (menikah) dalam hidup haruslah dengan pemikiran yang sangat, sangat, dan sangat matang! Bukannya saya tipe perempuan yang pilih-pilih, bukan! Tapi banyak kasus menunjukkan kalau kita sudah menikah, kadar cinta hanya tinggal beberapa persen saja. Prosentase terbesar dalam rumah tangga adalah memikirkan kebutuhan dan mencapai kesejahteraan. Secara kasarnya, setelah menikah kita tidak akan bicara tentang cinta. Tidak akan kenyang makan cinta, KARENA CINTA GAK ADA DI PIRING!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar