Kamis, 12 Januari 2012

Tidak (Seharusnya) Selalu HARUS Dipaksakan.

Kepulangan saya ke rumah kali ini, ternyata menggugah semangat menulis saya tentang kisah seorang pria remaja yang rumahnya tepat di depan rumah saya. Berperawakan tinggi, ganteng, dan layak untuk jadi idola para kembang desa (seharusnya!). Kenyataannya, postur tubuh yang oke tidak ditunjang dengan kemampuan berkomunikasi yang baik. Saya memanggilnya Mas saja, lagi-lagi saya harus menyembunyikan identitas agar tidak menyinggung perasaan orang lain.

Seharusnya Mas sekarang sudah kuliah, gaul dengan teman kampus, ngapel ke kos cewek atau nongkrong di warung kopi -khas mahasiswa-. Tetapi itu tidak terjadi!

Mas yang dulu selalu jadi bintang kelas waktu SD, sekarang malah suka main dengan anak TK dan SD yang seumuran dengan Adiknya. Diiringi dengan gelak tawanya yang tanpa dosa dan tiba-tiba saja diam pada saat yang lain tertawa.

Mas yang dulu selalu rajin sholat dan ngaji, sekarang suka keluyuran dengan tampang grimbus dan mamel (Mas mulai tidak pernah mandi sekarang!).
Semua berawal dari kepindahan sekolah Mas. Mas yang awalnya sekolah di daerah Genteng, tiba-tiba saja dipindahkan ke daerah Muncar. "Kalau cowok itu Mbak, harus dapat ilmu agama yang lebih. Di Genteng masih kurang. Biar nantinya bisa jadi pemimpin yang pinter!", itu alasan yang dilontarkan Ibunya Mas setelah keluarga saya dibuat penasaran dengan alasan kepindahan sekolah Mas. Perlu saya jelaskan, Mas juga dipondok-kan di sekolah barunya. Dengan dilontarkan alasan seperti itu, akhirnya semua orang tahu kalau kepindahan sekolah itu bukan keinginan dari Mas sendiri.

Tetapi beberapa waktu kemudian, saya mendapat kabar kalau Mas sudah mulai PP (pulang-pergi) dari Muncar ke rumah. Perlu saya jelaskan lagi, jarak antara Muncar dan rumah saya jauh sekali sekitar 40 Km. Masih harus melewati kecamatan Rogojampi dan Srono. Untung saja, Mas berasal dari keluarga berada. Jadi ada ojek langganan.

Perubahan itu akhirnya terjadi! Setiap pulang sekolah, Mas selalu cekeran (tidak ber-alas kaki). Selalu saja kehilangan salah satu sepatunya dan ujung-ujungnya selalu ada salah satu guru sekolahnya yang mengantar pulang ke rumah.

Ada apa dengan Mas? Mas tidak pernah mau menjawab pertanyaan setiap ditanya. Mas melakukan aksi DIAM. Dan tahukah temans, aksi ini digelar selama kurang lebih 2 (dua) tahun lamanya. Hebat bukan? Mas bisa menahan untuk tidak bicara sama sekali selama itu. Mas hanya menggunakan bahasa isyarat, dengan menunjuk sesuatu yang dia inginkan atau ditulis saja. Saya dan Adik saya, sebagai tetangga terdekat, selalu berusaha mengajak bicara. Tapi hanya dijawab dengan senyuman bahkan kadang-kadang obrolan kami hanya dijawab dengan tawa lepasnya. Lama-lama kami capek, walau kami juga kasihan melihat teman bermain kami semasa kecil bisa berubah seperti itu.

Mas menjadi manusia yang tempramental dan aneh. Sudah 2 (dua) kali melakukan aksi heroik, sehari menjelang hari raya Idul Fitri, Mas tiba-tiba ngamuk! Kaca rumah, meja kaca dan lemari kaca habis dibabatnya. Ibunya kocar-kacir lari ke rumah saya! Itu terjadi sekitar 3 (tiga) dan 4 (empat) tahun yang lalu. Mas aneh! Selalu melakukan hal yang mistis. Membakar lilin di bawah pohon pisang disertai dengan beberapa pecahan genting dan bahan-bahan lainnya. Mas sampai pernah dibawa ke RSJ dan dikonsultasikan ke psikiater. Tapi itu tidak berlangsung lama. Hanya satu minggu dirawat, Mas dijemput lagi dan pulang ke rumah lagi.

Sekarang, Mas sudah mulai mau bicara -walau kadang tidak nyambung- dan sering jadi bahan ejekan para tetangga -bahkan keluarga saya sendiri, maaf Mas!-. Banyak aksi konyol yang dilakukan Mas yang bisa membuat kami, para tetangga, tertawa. Tapi bukan aksi lucu saja yang dia tampilkan. Adegan vulgar juga kerap dia hadirkan. Misalkan saja, tiba-tiba Mas mendatangi rumah salah satu tetangga dan dengan serta-merta menunjukka -maaf- alat vitalnya. Ya Allah Mas, kemana naluri sopan santunmu yang dulu? Hilangkah? Menguap bersama timbunan tekanan yang kau rasakan kah?

Sekarang Mas mulai berontak ke orang tuanya. Mas sudah tidak mau sekolah, tidak mau mandi, tidak bisa diatur dan Mas sudah menjadi diri sendiri. Mas yang dulu luar biasa sekarang berubah nelangsa dengan dunianya sendiri!

Nah, temans! Saya benar-benar prihatin dengan Mas depan rumah saya yang ganteng itu. Seraya menulis ini, saya sempatkan untuk menengok rumah depan beberapa kali. Memastikan apakah Mas mau keluar dan melakukan adegan ekstrim lagi disaat gerimis seperti ini?

Ada beberapa hal yang bisa kita petik dari kisah Mas ganteng depan rumah saya ini. Yaitu, bersyukurlah kita memiliki orang tua yang demokratis, mau menuruti kemauan kita -selama kemauan kita wajar dan bisa dilogika-. Selain itu, berbahagialah kita menjadi orang yang terbuka terhadap orang tua kita dan tidak suka memendam sesuatu.
Besyukur, terbuka dan percaya kepada orang tua merupakan beberapa faktor yang bisa membuat kita menjadi lebih baik ke depannya.
Temans, selamat menceritakan uneg-uneg ke orang tua!
:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar